akulah puisimu
segores luka yang meminta
ruang di kalbumu yang lelah
aku mengisi malammu
hingga kau lupa pejamkan mata
dan yang tersisa hanya ini saja
rinai gerimis di atas kertas
biar tak dibilang ini lahir
dari segala kepura-puraan
akulah puisimu
huruf-huruf yang tajam
yang sedia mengukir segala takdir
kau tak bisa menampiknya
bergantian nasib buruk dan mujur menerpa
selayaknya pelengkap saja dari jalinan kisah
semua tentang puisimu – aku
dunia yang tak begitu buruk
namun membawamu ke dalam bimbang
Modernitas
:
aku adalah apa yang ada padaku
aku adalah apa yang kumiliki
aku adalah pekerjaanku
aku adalah status sosialku
aku adalah pemikiranku
aku adalah gaya hidupku
aku adalah online shopping ku
aku adalah gawaiku,
dan identitasku kini
semua yang berasal dari luar diriku
aku telah terputus dengan aku yang tulus
oleh suara sepatuku di jalanan,
di antara gedung-gedung tinggi,
mall dan kafe, tempat kebugaran:
gema dari materialisme yang berdering
di telinga kotaku.
Romantisme Seperti Serangan Radang Usus Buntu
sebenarnya ia adalah seorang yang penuh kesadaran diri dan romantis.
meskipun ia juga laki-laki yang keletihan menghadapi dunia,
dan kehausan akan cinta.
tanpa secangkir kopi, di pagi buta yang basah
ia rayakan kesendiriannya. dan nada-nada dangdut yang biasa menemani
malah memicu asam lambungnya naik, kecut terasa di lidah.
kekasih hati kabur entah kemana, masih membayang di pelupuk mata, hingga mengeroposi dinding jiwa. baginya kini, kehidupan adalah kue tar dilapisi racun arsenik.
dan setiap gigitan akan meracuninya sedikit demi sedikit. akhirnya mati tercekik.
biarpun begitu ia sudah tidak lagi takut mati, katanya.
kehidupan membosankan lebih menakutkan daripada kematian.
namun dalam kesendirian menyeberangi sepi, ia seperti kupu-kupu kecil yang rapuh.
tak dirasakannya lagi ciuman pagi nan lembut bak lelehan es krim.
tak ada lagi kuntum bunga segar yang disusun tangan gemulai ke dalam jambangan.
hidup adalah debu yang bertaburan di udara, katanya takzim.
begini akhir ceritanya ditulis.
sebagai kisah rinai gerimis di atas kertas.
ironi kecil kehidupan serupa udara bertuba, terpaksa harus dihirup juga.
Pulang
di hadapan kematian
semua orang terlihat sedih dan mengerut
seperti berada di lubang hitam tak berdasar
yang menimbulkan rasa takut
kadang aku bertanya bagaimana bisa
daging berubah menjadi tanah
yang tak berkesadaran dan tak berperasaan
sia-sia bagai rumah yang begitu lama ditinggalkan
tuhan tampaknya hadir di sana
ia bicara melalui takdir yang ditetapkannya
sedikit pun tak mau menunda
berakhirlah segala kesenangan - muram
meskipun demikian
aku kira jiwa telah menemukan jalan;
pastilah itu setapak buatan tuhan
nuju dunia yang berbeda - terasa damai
mungkinkah? tapi mengapa orang masih takut
di hadapan kematian yang begitu absurd
sedang hidupnya di dunia sebagai penyewa
akan tiba masanya pulang ke rumah sebenarnya
0 komentar:
Posting Komentar