Tema kematian adalah sebuah tema yang kerapkali muncul dalam sebuah puisi. Barangkali karena puisi itu sendiri berfungsi sebagai sarana refleksi, perenungan mendalam terhadap momen-momen tertentu dalam hidup, makanya penyair seringkali mengangkat tema kematian sebagai sesuatu yang layak dipikirkan secara mendalam. Sebab, kematian berhubungan erat dengan hidup manusia. Ia bagian yang tak terpisahkan dengan eksistensi individual, sekalipun memang cukup meruapkan bulu tengkuk kita ketika ide tentang ini melintas dalam benak.
Saya sebelumnya menulis sebuah puisi dengan tema ini, kematian. Inspirasinya saya dapat manakala saya mengurus jenazah tetangga kami yang berpulang ke hadirat-Nya karena penyakit yang ia derita. Proses kreatif penulisan puisi ini dimulai saat saya pulang ke rumah, dan mengingat-ingat suasana di rumah duka tetangga itu. Berikut ini puisinya:
Pulang
di hadapan kematian
semua orang terlihat sedih dan mengerut
seperti berada di lubang hitam tak berdasar
yang menimbulkan rasa takut
kadang aku bertanya bagaimana bisa
daging berubah menjadi tanah
yang tak berkesadaran dan tak berperasaan
sia-sia bagai rumah yang begitu lama ditinggalkan
tuhan tampaknya hadir di sana
ia bicara melalui takdir yang ditetapkannya
sedikit pun tak mau menunda
berakhirlah segala kesenangan - muram
meskipun demikian
aku kira jiwa telah menemukan jalan;
pastilah itu setapak buatan tuhan
nuju dunia yang berbeda - terasa damai
mungkinkah? tapi mengapa orang masih takut
di hadapan kematian yang begitu absurd
sedang hidupnya di dunia sebagai penyewa
akan tiba masanya pulang ke rumah sebenarnya
(24/05/2023)
"Pulang" adalah judul yang saya pilih untuk menggambarkan refleksi saya sebagai pribadi tentang kematian dan persepsi umum terhadapnya. Dalam puisi ini saya mengajak pembaca untuk merenungkan tentang arti kematian dan bagaimana sikap kita terhadapnya.
Puisi ini saya buka dengan menggambarkan bagaimana orang-orang bereaksi terhadap kematian. Melalui 'Aku-Lirik', saya ingin mengatakan bahwa semua orang terlihat sedih dan cemas, seolah-olah mereka berada dalam lubang hitam yang pengap, terjebak pada situasi yang menakutkan dirinya.
Kematian yang dalam kerangka filsafat eksistensialisme adalah sebuah 'faktisitas', yakni keterlemparan manusia ke hadapan fakta-fakta mengejutkan yang sebelumnya tak dapat dibayangkan. Berkaitan dengan ini, sebagai penulis puisi secara retoris mengajukan pertanyaan tentang "ketidakberdayaan" individu ketika mengalami kematian. Seakan-akan segala yang ia miliki (baca: perangkat kemanusiawiannya seperti kecerdasan, daya nalar dan kemampuan lainnya) tidak ada manfaat sama sekali.
//kadang aku bertanya bagaimana bisa/
//daging berubah menjadi tanah/
//yang tak berkesadaran dan tak berperasaan/
//sia-sia bagai rumah yang begitu lama ditinggalkan/
Dalam bait-bait berikutnya, saya menyinggung tentang kehadiran Tuhan dalam kaitannya dengan situasi kematian. Saya percaya bahwa Tuhan ada di sana, berbicara melalui takdir yang telah ditentukan-Nya. Saya menggambarkan bahwa Tuhan tidak akan menunda saat yang tepat bagi seseorang untuk meninggalkan dunia ini. Hal ini mengisyaratkan bahwa semua kesenangan dan kesedihan hidup akan berakhir pada akhirnya.
Tentang perpindahan jiwa yang melalui proses kematian tubuh fisik ini, saya sebagai penulis puisi merenungkan kemungkinan bahwa ada jalan yang sudah dipersiapkan Tuhan bagi jiwa setelah "keluar rumah sementaranya". Jiwa itu kemudian dituntun menuju dunia yang berbeda: dunia yang damai dan sejati, mudah-mudahan saja.
Saya percaya itu semua adalah kreasi Yang Maha Kuasa. Jalan yang sengaja dibuat untuk jiwa yang meninggalkan tubuhnya sendiri, dan dunia yang baru sebagai alam transit tempat jiwa tersebut. Apa arti semua ini? Segala sesuatu yang terjadi dan dialami manusia ternyata sudah ditentukan oleh Tuhan. Dan manusia tak bisa mengelak dari semua yang sudah ditakdirkan-Nya.
Ironisnya, mengapa banyak orang masih takut menghadapi kematian yang pada kenyataannya adalah sesuatu yang absurd tapi cenderung bersifat fait accompli, pilihan yang tak bisa ditolaknya.
Dalam bait akhir puisi ini, makanya saya menggambarkan bahwa selama kita hidup di dunia ini, kita sebenarnya hanya menjadi penyewa yang akan kembali ke rumah sebenarnya pada akhirnya, yaitu setelah kematian. Ada kesementaraan yang termuat dalam kehidupan dunia.
Sebagai kesimpulan, melalui puisi ini, saya mencoba merangkum perasaan dan pikiran yang terkait dengan kematian. Puisi ini memang berupaya memunculkan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang arti hidup, kehadiran Tuhan, dan bagaimana kita berhubungan dengan kematian sebagai manusia. Meskipun tema ini dapat menimbulkan perasaan sedih dan serius, saya tahu. Akan tetapi, puisi ini juga menawarkan harapan bahwa ada kehidupan setelah kematian yang damai. Jangan cemas jiwa tak akan terlantar. Tuhan tak akan membiarkan ini terjadi. [MI]
Saya sebelumnya menulis sebuah puisi dengan tema ini, kematian. Inspirasinya saya dapat manakala saya mengurus jenazah tetangga kami yang berpulang ke hadirat-Nya karena penyakit yang ia derita. Proses kreatif penulisan puisi ini dimulai saat saya pulang ke rumah, dan mengingat-ingat suasana di rumah duka tetangga itu. Berikut ini puisinya:
Pulang
di hadapan kematian
semua orang terlihat sedih dan mengerut
seperti berada di lubang hitam tak berdasar
yang menimbulkan rasa takut
kadang aku bertanya bagaimana bisa
daging berubah menjadi tanah
yang tak berkesadaran dan tak berperasaan
sia-sia bagai rumah yang begitu lama ditinggalkan
tuhan tampaknya hadir di sana
ia bicara melalui takdir yang ditetapkannya
sedikit pun tak mau menunda
berakhirlah segala kesenangan - muram
meskipun demikian
aku kira jiwa telah menemukan jalan;
pastilah itu setapak buatan tuhan
nuju dunia yang berbeda - terasa damai
mungkinkah? tapi mengapa orang masih takut
di hadapan kematian yang begitu absurd
sedang hidupnya di dunia sebagai penyewa
akan tiba masanya pulang ke rumah sebenarnya
(24/05/2023)
"Pulang" adalah judul yang saya pilih untuk menggambarkan refleksi saya sebagai pribadi tentang kematian dan persepsi umum terhadapnya. Dalam puisi ini saya mengajak pembaca untuk merenungkan tentang arti kematian dan bagaimana sikap kita terhadapnya.
Puisi ini saya buka dengan menggambarkan bagaimana orang-orang bereaksi terhadap kematian. Melalui 'Aku-Lirik', saya ingin mengatakan bahwa semua orang terlihat sedih dan cemas, seolah-olah mereka berada dalam lubang hitam yang pengap, terjebak pada situasi yang menakutkan dirinya.
Kematian yang dalam kerangka filsafat eksistensialisme adalah sebuah 'faktisitas', yakni keterlemparan manusia ke hadapan fakta-fakta mengejutkan yang sebelumnya tak dapat dibayangkan. Berkaitan dengan ini, sebagai penulis puisi secara retoris mengajukan pertanyaan tentang "ketidakberdayaan" individu ketika mengalami kematian. Seakan-akan segala yang ia miliki (baca: perangkat kemanusiawiannya seperti kecerdasan, daya nalar dan kemampuan lainnya) tidak ada manfaat sama sekali.
//kadang aku bertanya bagaimana bisa/
//daging berubah menjadi tanah/
//yang tak berkesadaran dan tak berperasaan/
//sia-sia bagai rumah yang begitu lama ditinggalkan/
Dalam bait-bait berikutnya, saya menyinggung tentang kehadiran Tuhan dalam kaitannya dengan situasi kematian. Saya percaya bahwa Tuhan ada di sana, berbicara melalui takdir yang telah ditentukan-Nya. Saya menggambarkan bahwa Tuhan tidak akan menunda saat yang tepat bagi seseorang untuk meninggalkan dunia ini. Hal ini mengisyaratkan bahwa semua kesenangan dan kesedihan hidup akan berakhir pada akhirnya.
Tentang perpindahan jiwa yang melalui proses kematian tubuh fisik ini, saya sebagai penulis puisi merenungkan kemungkinan bahwa ada jalan yang sudah dipersiapkan Tuhan bagi jiwa setelah "keluar rumah sementaranya". Jiwa itu kemudian dituntun menuju dunia yang berbeda: dunia yang damai dan sejati, mudah-mudahan saja.
Saya percaya itu semua adalah kreasi Yang Maha Kuasa. Jalan yang sengaja dibuat untuk jiwa yang meninggalkan tubuhnya sendiri, dan dunia yang baru sebagai alam transit tempat jiwa tersebut. Apa arti semua ini? Segala sesuatu yang terjadi dan dialami manusia ternyata sudah ditentukan oleh Tuhan. Dan manusia tak bisa mengelak dari semua yang sudah ditakdirkan-Nya.
Ironisnya, mengapa banyak orang masih takut menghadapi kematian yang pada kenyataannya adalah sesuatu yang absurd tapi cenderung bersifat fait accompli, pilihan yang tak bisa ditolaknya.
Dalam bait akhir puisi ini, makanya saya menggambarkan bahwa selama kita hidup di dunia ini, kita sebenarnya hanya menjadi penyewa yang akan kembali ke rumah sebenarnya pada akhirnya, yaitu setelah kematian. Ada kesementaraan yang termuat dalam kehidupan dunia.
Sebagai kesimpulan, melalui puisi ini, saya mencoba merangkum perasaan dan pikiran yang terkait dengan kematian. Puisi ini memang berupaya memunculkan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang arti hidup, kehadiran Tuhan, dan bagaimana kita berhubungan dengan kematian sebagai manusia. Meskipun tema ini dapat menimbulkan perasaan sedih dan serius, saya tahu. Akan tetapi, puisi ini juga menawarkan harapan bahwa ada kehidupan setelah kematian yang damai. Jangan cemas jiwa tak akan terlantar. Tuhan tak akan membiarkan ini terjadi. [MI]
😍tulisan yang maknanya sangat dalam. I like it
BalasHapusTerima kasih atas apresiasinya.
Hapus