28 Jun 2023

 

Cerpen Anindita S Thayf : Memorium

Cerpen Jawa Pos, Memorium, Anindita S Thayf

Memorium

Anindita S Thayf 

(Jawa Pos, 18 Desember 2021)


DI kota ini, bayang-bayang memanjati dinding nyaris secepat laba-laba. Sesuatu yang, anehnya, hanya disaksikan oleh mereka yang berusia di atas enam puluh tahun: para sepuh. Sebenarnya, hal itu bukan rahasia karena keberadaannya tidak pernah ditutup-tutupi.

Para sepuh selalu berusaha memberi tahu anak-anak dan cucu-cucu mereka perihal bayang-bayang meresahkan tersebut, tapi tiada yang percaya. Anak-anak dan cucu-cucu malah menuduh para sepuh hendak mencari perhatian dengan mengarang cerita demikian, termasuk anak-cucu Mima.

Mima berpikir, barangkali itulah satu dari sejumlah alasan di balik keputusan kedua anaknya untuk menitipkannya di Memorium. Sebuah keputusan yang disodorkan kepadanya semendadak angin menampar helai daun tua. Membuatnya terkejut hingga gemetar lama.

“Sebenarnya, berita soal rencana pemerintah itu sudah terdengar lama, Mami. Jika Mami rajin melihat berita, bukan hanya menonton drama dan acara hiburan, Mami pasti akan tahu,” beber si sulung yang tiba-tiba saja menemuinya di rumah si bungsu pada malam itu.

“Lagi pula itu cuma semusim. Mami akan keluar pada musim panas nanti, seperti janji pemerintah. Mami tidak usah khawatir.”

“Betul, Mami. Kata pemerintah, itu hanya semacam pusat peningkatan kesehatan dan kesejahteraan untuk orang-orang seumuran Mami,” tambah si bungsu yang biasanya lebih suka berbicara kepadanya lewat pesan di ponsel kendati mereka serumah, tapi malam itu ikut bersuara.

“Lihat dulu brosur dan foto tempatnya, Mi.” Si bungsu menunjukkan sederet gambar pada layar ponselnya kepada Mima. “Bukankah Memorium tidak seperti rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, tempat karantina, apalagi panti jompo? Ia lebih seperti kapal pesiar mewah, menurutku. Pemerintah pasti menghabiskan banyak dana untuk membangunnya.”

Mima meraih kacamata baca yang selalu tergantung di dadanya demi bisa melihat dengan jelas apa yang disodorkan anaknya. Usia telah merampok banyak hal darinya, termasuk semangat mengikuti kabar dan berita seperti dulu, tapi setidaknya Mima ingin tahu satu hal. Meskipun buta pada banyak kejadian di sekelilingnya, Mima merasa perlu tahu ke mana anak-anak akan menyingkirkannya walaupun, kata mereka, itu hanya sementara.

Sebuah pusat rehabilitasi khusus lansia telah dibangun oleh pemerintah atas dasar kepedulian dan kemanusiaan, demikian beri tahu kalimat pertama pada brosur elektronik Memorium. Sebagai penduduk dengan populasi terbanyak abad ini sekaligus warga senior, pemerintah merasa perlu untuk memberikan pelayanan kesehatan dan perbaikan kesejahteraan terbaik kepada para sepuh, jelas kalimat kedua. Penjelasan tersebut lalu ditutup dengan sebuah slogan berlogo huruf P&L yang dirangkai membentuk hati.

Peduli Bangsa, Lindungi Masa Depan. Pedulilah dan Lindungilah, Mima membacanya dalam hati. Sesaat, dia dihampiri perasaan seolah pernah membaca kalimat yang nyaris serupa itu, tapi entah kapan dan di mana, dia sudah lupa. Begitu pun, Mima masih ingat apa yang terjadi di rumah si sulung empat tahun lalu sebab kejadian itulah yang menempatkannya pada posisi ini

Kejadiannya setelah Mima memasuki masa pensiun. Di tengah waktu luangnya yang melimpah, di dalam hunian sempit anaknya, Mima menyaksikan langsung kemunculan bayang-bayang meresahkan itu dan membuatnya diserang ketakutan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setiap sepuh yang mengaku pernah melihat “bayang-bayang cepat memanjat dinding” mestilah bakal terjebak dalam kondisi mental yang tercemari klaustrofobia parah.

Awalnya, rasa gelisah dan serangan panik saat berada di ruang sempit masih bisa ditahan-tahan hingga batas tertentu. Selanjutnya, kondisi fisik penderita akan menunjukkan perubahan drastis yang lebih disebabkan oleh aneka penyakit yang muncul bersama tahap awal kegilaan. Proses ini berlangsung dalam jangka waktu yang berbeda pada tiap sepuh. Hal serupa telah dialami lebih dulu oleh kakak Mima, yang membuat tubuh tambunnya berubah setipis kasur kapuk tua dalam waktu tidak sampai setahun. Di ujung penderitaan itu, dia ditemukan meninggal dunia dalam kondisi terduduk dan mata terbuka di depan televisi umum sebuah rumah sakit jiwa. Sungguh Mima tidak bisa membayangkan penderitaan yang harus dilalui sang kakak.

Mima telah menghuni Memorium selama lima bulan dua puluh satu hari. Mima sengaja merekam detail waktu masa tinggalnya per hari dalam aplikasi Diari Bersuara yang diunduhkan cucu keempatnya ke dalam ponselnya. Mima melakukan itu hanya agar dia tidak lupa untuk bersiap jika tiba saatnya anak-anak dan cucu-cucu datang menjemput. Pun, agar dia tidak terlena.

Mima menyetujui pujian si bungsu untuk Memorium. Tempat ini benar-benar hebat. Selain pelayanan kesehatan terbaik, lengkap, dan rutin, lingkungan Memorium yang lapang, tenang, dan nyaman memulihkan kesehatan mental Mima dengan cepat. Gejalanya memang masih tahap awal. Namun, selama di Memorium, Mima seolah berada dalam kenangan terindah masa lalunya.

Itulah masa ketika tempat-tempat yang luas dan rumah-rumah berteras masih ada. Begitu pula pohon-pohon dan kebun hijau, garasi, hingga kolam ikan koi masih mudah ditemukan. Pada masa itu, Mima pernah memiliki sebuah rumah berteras dengan pot-pot bunga kebanggaan. Rumah pemberian orang tua Mima, tempat dia membesarkan anak-anak, tapi terpaksa dijual ketika suaminya wafat dan kedua anaknya membutuhkan hunian sendiri. Sejak itu, Mima menumpang tinggal di tempat anak-anaknya.

Seiring Mima menua, kota ikut menua bersamanya. Serupa para sepuh yang mulai kehilangan rambut, kota juga kehilangan rumah-rumah berteras, apalagi tempat-tempat luas. Daratan dirontokkan oleh sapuan banjir dan gerusan air laut. Sebagai gantinya, kini kota hanya diisi gedung-gedung tinggi. Untuk hunian warga, isi gedung dipetak-petak dalam ukuran yang seragam kecilnya. Sepetak tempat tinggal yang dijual sangat mahal, tapi bisa disewa dengan harga yang cukup terjangkau bagi pekerja yang mau terus bekerja lembur setiap hari. Rumah dengan pot-pot bunga yang berbaris, apalagi yang memiliki banyak pohon buah serupa rumah omanya dulu, sudah lama punah dan hanya tertinggal dalam cerita-cerita Mima untuk cucu-cucunya.

Mima tidak pernah menyalahkan anak-anak atas apa yang dialaminya, bahkan setelah mereka bergegas memindahkan barang-barangnya ke Memorium sehari sesudah mereka menyampaikan soal itu. Tidak pula Mima menyalahkan kesombongan para dokter, psikolog, dan ahli gerontologi yang menganggap klaustrofobia para sepuh sebagai wujud keterasingan sosial yang lumrah terjadi pada lansia. Orang-orang muda nan pandai itu, juga anak-anak dan cucu-cucu, tidak akan pernah bisa mengerti bagaimana rasanya hidup di tengah abad yang kian maju teknologinya, tapi kian terasing orang-orangnya. Hanya Mima dan orang-orang seusianya pula yang paling tahu apa yang sesungguhnya terjadi di balik serangan klaustrofobia para sepuh yang merata.

Itu adalah sesuatu yang lebih dari sekadar bagian dari proses penuaan. Sebuah trauma yang berasal dari masa lalu. Masa-masa saat pandemi Covid-19 mengganas dan membuat Mima dan lansia seangkatannya terpaksa menjalani karantina rumah selama hampir dua tahun. Masa-masa ketika anak-anak dan cucu-cucu masih berwujud ide dalam kerangka takdir calon orang tuanya.

Mima tidak akan pernah lupa betapa terpenjara hidupnya kala itu. Hari-harinya dibayang-bayangi rasa takut pada virus tak kasatmata sekaligus kesepian yang sulit diungkapkan. Dia masih berumur enam tahun. Baru saja lulus TK dan bermimpi memakai seragam SD serupa milik kakaknya saat pandemi datang. Terpaksalah Mima bersekolah dari rumah, bermain dalam rumah, menghabiskan waktu dengan menatap dinding atau berputar-putar dalam kamar. Hingga tiba saatnya pandemi itu pergi sendiri setelah meninggalkan luka kenang-kenangan dalam diri para penyintasnya. Sebuah perasaan terkurung yang hanya bisa dimengerti oleh lebah yang tersesat lama di balik tirai jendela tebal.

Dari puncak Memorium, pemandangan laut lepas, berikut pantai cokelat dan cakrawalanya, selalu terlihat indah di mata Mima, meskipun sebuah proyek pembangunan entah apa yang belum selesai membentangkan tendanya di sisi kanan pantai. Sejak hari pertama tiba di Memorium, Mima memutuskan itulah tempat favoritnya. Sejujurnya, itu bagian terbaik dari Memorium, menurut Mima. Sehamparan geladak luas beratap akrilik bening yang dilengkapi dengan barisan kursi pijat otomatis, taman berbantal kursi empuk yang dihiasi bunga-bunga plastik, hingga kolam buatan dangkal berair hangat untuk mencelupkan kaki. Di salah satu sudut geladak, sebuah akuarium besar berisi ikan warna-warni yang berenang lincah dan beberapa sangkar berisi burung-burung ribut juga disediakan bagi para sepuh yang ingin merasakan kembali sensasi memiliki hewan piaraan. Di tempat itu, Mima merasa hidup kembali.

Memorium adalah sebuah kapal Angkatan Laut karam yang telah disulap dengan sangat canggih dan indah oleh pemerintah untuk para sepuh. Awalnya, Mima sempat khawatir saat mengetahui dia akan tinggal di atas kapal. Namun, kedua anaknya meyakinkan keamanan Memorium dengan berkata bahwa pemerintah tidak mungkin membahayakan keselamatan warganya. Mereka juga mengingatkan tentang keputusan sulit yang mesti diambil pemerintah untuk mengatasi situasi saat ini dan betapa beruntungnya Mima bisa merasakan kelegaan hidup biarpun hanya semusim.

“Seandainya kapal itu untuk hunian warga, aku mau saja bertukar tempat dengan Mami,” ucap si sulung.

“…. apalagi anak-anakku,” tambah si bungsu. “Mereka pasti akan sangat senang tinggal di tempat seluas itu.”

Mendengar kata-kata tersebut, Mima memilih pasrah. Diam-diam, dia menyimpan niat untuk membagikan pengalamannya tinggal di Memorium kepada cucu-cucunya nanti sebagai dongeng sebelum tidur. Namun, malam ini, Mima lagi-lagi hanya bisa menyimpan rencana itu dalam hati dan memutuskan tidur lebih cepat. Mima hanya harus bertahan kurang lebih dua–tiga bulan lagi dan rajin-rajin berdoa agar cuaca tidak seekstrem biasanya. Sambil menatap kalender hujan pada ponselnya, Mima berharap puncak musim hujan lekas terlewati agar semuanya segera berakhir.

Di luar Memorium, hujan deras yang tidak berhenti selama seminggu seolah membuat laut yang muak merasa perlu mengamuk. Mengempaskan ombak besarnya keras-keras ke arah pantai hingga menghanyutkan segala benda dan makhluk yang sudah direncanakan dan ditakdirkan untuk hanyut malam itu. Salah satunya terpal penutup proyek pembangunan dekat pantai hingga terungkaplah apa yang disembunyikan dari umum dan selalu membuat Mima penasaran jika melihatnya dari kejauhan.

Sebuah tugu peringatan yang siap diresmikan pemerintah sudah berdiri sana. Tanpa setahu Mima, namanya tertera pada puncak sebuah daftar di bawah tulisan “Pasien Memento Mori Sanatorium (Memorium) dalam Kenangan”. Pada hari peresmian tugu itu nanti, Mima jelas tidak bisa hadir sebab dia telah menjadi bagian dari masa lalu yang harus dikorbankan demi kepentingan pemerintah dan keturunannya, bangsa dan masa depan. Anak-anak dan cucu-cucunyalah yang akan diundang. Para pewaris ganti rugi yang sudah mengantongi surat perwalian berisi tanda tangan para sepuh, termasuk Mima. Surat sakti yang akan ditukar dengan uang tanda belasungkawa pemerintah. Uang senilai satu petak rumah baru. ***

 

ANINDITA S THAYF. Lahir 5 April 1978 di Makassar. Menulis cerpen dan novel. Novel terbarunya Ular Tangga (2018).



Share:

0 komentar:

Posting Komentar