16 Mei 2023

 

Sajak Rendra : Kupanggili Namamu

Sajak Rendra Kupanggili Namamu, Blues untuk Bonnie


Satu sajak karya WS Rendra yang termuat dalam Kumpulan Sajaknya, Blues untuk Bonnie, yang diterbitkan pada tahun 1971 oleh PT Dunia Pustaka Jaya ini terasa kuat sekali ekspresinya. Mari cermati sajaknya berikut ini,


Kupanggili Namamu

RENDRA

Sambil menyeberangi sepi
kupanggil namamu, wanitaku.
Apakah kau tak mendengarku?
Malam yang berkeluh kesah
memeluk jiwaku yang payah
yang resah
kerna memberontak terhadap rumah
memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala

Sia-sia kucari pancaran sinar matamu.
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu
yang kini sudah kulupa.
Sia-sia.
Tak ada yang bisa kujangkau.
Sempurnalah kesepianku.

Angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.
Dan dua belas ekor serigala
muncul dari masa silam
merobek-robek hatiku yang celaka.

Berulang kali kupanggil namamu
Dimanakah engkau, wanitaku?
Apakah engkau juga menjadi masa silamku?
Kupanggili namamu.
Kupanggili namamu
Kerna engkau rumah di lembah.
Dan Tuhan?
Tuhan adalah seniman tak terduga
Yang selalu sebagai sediakala
hanya memperdulikan yang besar saja.

Seribu jari dari masa silam
menuding padaku.
Tidak.
Aku tak bisa kembali.

Sambil terus memanggili namamu
amarah pemberontakanku yang suci
bangkit dengan perkasa malam ini
dan menghamburkan diri ke cakrawala
yang sebagai gadis telanjang
membukakan diri padaku
Penuh. Dan prawan.

Keheningan sesudah itu
sebagai telaga besar yang beku
dan aku pun beku di tepinya.
Wajahku. Lihatlah, wajahku.
Terkaca di keheningan.
Berdarah dan luka-luka
dicakar masa silamku.


Parafrasa:

Sambil menyeberangi sepi, kupanggil namamu, wanitaku. Apakah kau tak mendengarku? Kekasihmu yang sudah begitu terpuruk di sini?

Malam yang kulalui selalu berkeluh kesah dan memeluk jiwaku yang payah, yang resah. Itu
kerna memberontak terhadap rumah, yang mengurungku dengan segala aturannya yang membuatku memberontak terhadap adat yang latah, tradisi yang tak mungkin berubah
dan pada akhirnya aku pun tergoda menuju cakrawala, yang membebaskanku dari segalanya.

Sia-sia kucari pancaran sinar matamu agar dapat memantik asaku. Ingin kuingat lagi bau tubuhmu yang kini sudah kulupa. Sia-sia. Tak ada yang bisa kujangkau. Kehadiranmu begitu jauh tak terengkuh. Maka kini sempurnalah kesepianku.

Angin pemberontakan menderaku yang telah kehilanganmu. Ia menyerang langit tempat segala harapanku bersemayam, dan bumi dimana tubuhku yang lunglai berada. Dan bersamaan dengannya pula dua belas ekor serigala jelmaan dari derita yang kualami telah muncul dari masa silam, tanpa rasa iba seketika merobek-robek hatiku yang celaka.

Berulang kali kupanggil namamu. Adakah kau mendengarnya? Dimanakah engkau, wanitaku? Apakah engkau juga menjadi masa silamku? Yang begitu jauh tak terjangkau lagi olehku. Tapi tetap kupanggili namamu. Berkali-kali kupanggili namamu. Kerna engkau rumah di lembah. Dan aku masih berharap kelak ke sana aku bersua denganmu. Dan Tuhan? Apakah Dia tahu apa yang kurasa kini? Yang kutahu Tuhan adalah seniman tak terduga. Dia yang selalu sebagai sediakala hanya memperdulikan yang besar saja. Deritaku akan kehilanganmu pastilah bukan menjadi perhatianNya.

Seribu jari dari masa silam menuding padaku. Tidak. Aku tak bisa kembali ke masa silamku yang suram, menghirup aroma luka yang menganga.

Sambil terus memanggili namamu, kini amarah pemberontakanku yang suci telah bangkit dengan perkasa malam ini, dan dengan menghamburkan diri ke cakrawala, ia yang sebagai gadis telanjang di hadapan seolah membukakan diri padaku. Begitu ranum penuh tubuhnya dan juga perawan.

Keheningan sesudah itu datang menjelma sebagai telaga besar yang beku , dan aku pun beku di tepinya. Ini wajahku yang dirajam derita kehilanganmu. Kini lihatlah, wajahku yang terkaca di keheningan. Seraut rupa yang berdarah dan luka-luka dicakar masa silamku.  

Share:

0 komentar:

Posting Komentar