21 Feb 2021

 

Refleksi Filosofis dalam Puisi Joko Pinurbo


Puisi Joko Pinurbo


𝔻𝕆𝔸 𝕆ℝ𝔸ℕ𝔾 𝕊𝕀𝔹𝕌𝕂 𝕐𝔸ℕ𝔾 𝟚𝟜 𝕁𝔸𝕄 𝕊𝔼ℍ𝔸ℝ𝕀 𝔹𝔼ℝ𝕂𝔸ℕ𝕋𝕆ℝ 𝔻𝕀 ℙ𝕆ℕ𝕊𝔼𝕃ℕ𝕐𝔸

Oleh 𝗝𝗼𝗸𝗼 𝗣𝗶𝗻𝘂𝗿𝗯𝗼

𝑇𝑢ℎ𝑎𝑛, 𝑝𝑜𝑛𝑠𝑒𝑙 𝑠𝑎𝑦𝑎
𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑏𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑔 𝑔𝑒𝑚𝑝𝑎.
𝑁𝑜𝑚𝑜𝑟-𝑛𝑜𝑚𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑦𝑎 ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎.
𝑆𝑎𝑡𝑢-𝑠𝑎𝑡𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑖𝑠𝑎
𝑖𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑛𝑜𝑚𝑜𝑟𝑀𝑢.

𝑇𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑎𝑡𝑎:
𝐷𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑡𝑢-𝑠𝑎𝑡𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑛𝑜𝑚𝑜𝑟
𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑢𝑠𝑎𝑝𝑎.

(2018)

** Puisi ini dikutip dari Buku Kumpulan Puisi Joko Pinurbo “Perjamuan Khong Guan” (2020)

Puisi Jokpin di atas terasa sekali ironinya, bukan? Di dalamnya kita melihat penggambaran hubungan manusia dengan Tuhannya yang timpang. Manusia hanya mendekatkan diri kepada-Nya manakala kemalangan mengguncang hidup. Tuhan baru terasa keberadaan-Nya ketika manusia mengalami musibah; pada saat manusia memohon pertolongan dan mencari sandaran tempat berkeluh kesah. 

/Tuhan, ponsel saya// /rusak dibanting gempa// /Nomor-nomor kontak saya hilang semua//
/Satu-satunya yang tersisa// /ialah nomorMu//

/Tuhan berkata:// /Dan itulah satu-satunya nomor// /Yang tak pernah kau sapa//

𝗣𝗮𝗿𝗮𝗳𝗿𝗮𝘀𝗮:

𝑂ℎ, 𝑇𝑢ℎ𝑎𝑛𝑘𝑢 𝑝𝑜𝑛𝑠𝑒𝑙 𝑠𝑎𝑦𝑎 𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑏𝑎𝑛𝑡𝑖𝑛𝑔 𝑔𝑒𝑚𝑝𝑎. 𝑁𝑜𝑚𝑜𝑟-𝑛𝑜𝑚𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑦𝑎 ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎. 𝑆𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑙𝑎𝑔𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑜𝑛𝑡𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎. 𝑃𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑖𝑎𝑝𝑎 𝑙𝑎𝑔𝑖 𝑠𝑎𝑦𝑎 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑒𝑙𝑢ℎ 𝑘𝑒𝑠𝑎ℎ? 𝑀𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑦𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛 𝑢𝑠𝑎ℎ𝑎 𝑠𝑢𝑝𝑎𝑦𝑎 𝑏𝑖𝑠𝑎 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑒𝑛𝑎𝑘 𝑑𝑖 𝑑𝑢𝑛𝑖𝑎. 𝑆𝑢𝑛𝑔𝑔𝑢ℎ ℎ𝑎𝑙 𝑖𝑛𝑖 𝑡𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑎𝑦𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎. 

𝑂ℎ, 𝑇𝑢ℎ𝑎𝑛𝑘𝑢.. 𝑆𝑎𝑡𝑢-𝑠𝑎𝑡𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑖𝑠𝑎 𝑖𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑛𝑜𝑚𝑜𝑟𝑀𝑢. 

𝑇𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑎𝑡𝑎, "𝐷𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑡𝑢-𝑠𝑎𝑡𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑛𝑜𝑚𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑢 𝑠𝑎𝑝𝑎."

"𝑆𝑒𝑘𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑢 𝑎𝑝𝑎 𝑘𝑎𝑚𝑢? 𝑀𝑒𝑛𝑐𝑜𝑏𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑒𝑘𝑎𝑡𝑖𝐾𝑢 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑖𝑛𝑖 𝑘𝑎𝑢 𝑎𝑏𝑎𝑖𝑘𝑎𝑛 𝐴𝑘𝑢? 𝑀𝑒𝑛𝑔𝑎𝑝𝑎 𝑘𝑎𝑢 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑒𝑘𝑎𝑡𝑖𝐾𝑢 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝𝑚𝑢 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑛𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛  𝑏𝑒𝑔𝑖𝑡𝑢? 𝑃𝑎𝑑𝑎ℎ𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑢 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑝𝑎 𝑝𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑎𝑢 𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑠𝑎𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑢 𝑡𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑙𝑢𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛𝐾𝑢. 𝐾𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑝𝑎 𝑙𝑎𝑔𝑖 𝑐𝑜𝑏𝑎?"

Begitulah manusia yang hanya mengakui eksistensi Tuhan ketika mengalami keterpurukan dalam hidupnya. Seolah-olah Tuhan hanya muncul sebagai   "gagasan konseptual pelepasan kesusahan" saja, dan menjadi alat pengukur derita yang dialami manusia. 

Ada pun dalam puisinya ini, Jokpin melalui diksinya yang sederhana dan jenaka bermaksud menghimbau pembaca puisinya agar merevisi kembali pemahaman tentang aku-diri (manusia), dan hubungannya dengan Tuhan (Eksistensi Sebab Utama untuk segala yang ada). 

Melalui penulisan baris-baris yang berimaji seperti percakapan biasa, Jokpin menginginkan pembacanya agar "menjadi akrab" kembali dengan Sang Maha Pencipta - suatu refleksi filosofis tentang nilai-nilai hidup dan keimanan.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar