5 Jul 2023

 

Perjuangan Eksistensial Feminis dalam Cerpen 'Mahluk Tanpa Kepala'

Simone De Beauvoir

Cerpen "Mahluk Tanpa Kepala" karangan Iis Suwartini yang dimuat sebulan yang lalu di Koran Kedaulatan Rakyat, Jum'at (16/06/2023), cukup menarik. Cerpen menghadirkan narasi yang kompleks tentang kehidupan perempuan dalam konteks patriarki yang mengabaikan hak-hak mereka. Dan jika kita melihatnya dari perspektif filsafat feminisme eksistensialis, cerpen ini menyoroti pemaksaan peran gender, ketidakadilan, dan kekerasan yang dialami oleh tokoh perempuan, Nunik.

Sebagai tokoh yang menjadi sentral narasi, Nunik menghadapi berbagai penderitaan dan penindasan dari suaminya. Sang antagonis, Tarjo menggunakan kekuatannya untuk menguasai Nunik secara fisik dan emosional. Ia mengabaikan kehendak dan keinginan Nunik, bahkan memaksanya untuk memenuhi kebutuhan seksualnya yang besar. Tarjo tidak menghargai Nunik sebagai manusia yang memiliki martabat dan kebebasan dalam menentukan pilihan hidupnya. Ia tega memperbudak istrinya sendiri dalam kehidupan domestik rumah tangganya.

Diceritakan dalam cerpen ini bahwa sebelumnya Nunik kehilangan bayi yang belum lama ia lahirkan. Lalu, Tarjo sebagai suami mengatakan pada masyarakat di sekitarnya kalau bayinya itu diculik oleh “mahluk tanpa kepala”. Untuk memperkuat narasi ini, Tarjo lalu melakukan ritual untuk mencari keberadaan sang bayi malang. Orang-orang yang menyaksikan perbuatannya pun merasa diyakinkan bahwa memang betul bayi mereka diculik mahluk gaib. Demi membuat rencana Tarjo berjalan lancar, Nunik harus mau mengikuti arahannya.

Sementara itu berita diculiknya bayi Nunik oleh mahluk gaib tanpa kepala mulai tersebar luas hingga jagat maya, dan menjadi viral. Paranormal berdatangan dalam rangka menjajal ilmu kanuragannya. Pembuat konten cerita mistis dan Youtuber langsung menuju kediaman pasutri malang itu, demi kepentingan pembuatan konten yang akan mereka unggah nantinya. Masyarakat sekitar merasa takut dengan isu adanya dedemit tanpa kepala yang menculik anak-anak. Mereka pun mengawasi buah hatinya dengan ketat, tak diizinkan keluar rumah sama sekali.

Tiba-tiba terdengar berita bahwa telah ditemukan mayat mengambang di sungai, dan ternyata itu adalah mayat bayinya Tarjo yang selama ini dicari-cari semua orang. Cerpen ini lalu mulai menanjak konflik yang digambarkannya. Polisi datang guna kepentingan menangkap Tarjo. Peristiwa diculiknya bayi Nunik menjadi terang. Rupanya Tarjo yang membunuh dan membuang mayat bayi malang itu ke sungai. Untuk menutupi jejak kejahatannya, ia menyebarkan isu kalau bayinya diculik “mahluk tanpa kepala”.

Sebagai korban kejahatan Tarjo, rupanya Nunik tak tinggal diam. Ia secara rahasia merencanakan pembalasan atas perlakuan kejam suaminya, memperlakukan dirinya tak ubahnya sebagai budak nafsu, hingga membunuh anak kandungnya sendiri. Ia memang sengaja membesar-besarkan peristiwa kehilangan bayinya agar diketahui orang banyak. Sehingga bisa mencuri perhatian mereka dan pada akhirnya dapat menggiring Tarjo ke penjara, serta mengungkap kebenaran yang telah disamarkan oleh suaminya.

Dalam konteks feminisme eksistensialis, kita menemukan bahwa pemaksaan peran gender dan dominasi yang dilakukan oleh Tarjo terhadap Nunik mencerminkan ketidakadilan struktural yang dialami oleh banyak perempuan dalam masyarakat patriarki dalam cerpen ini. Nunik terjebak dalam peran tradisional yang membatasi kebebasannya sebagai individu yang berhak mengambil keputusan tentang tubuhnya sendiri. Ia juga harus menerima perlakuan kasar dan pelecehan seksual yang menghancurkan harga dirinya.

Secara jelas cerpen ini ingin menyoroti konsekuensi yang serius dari ketidakadilan gender yang dialami oleh Nunik. Dan ini yang memotivasi tokoh utama, Nunik merencanakan aksi balas dendam terhadap Tarjo dengan memviralkan teror makhluk tanpa kepala, yang akhirnya berujung pada penangkapan Tarjo atas tindakan kejinya. Ini menunjukkan bahwa Nunik, meskipun terjebak dalam posisi yang lemah, menemukan cara untuk melawan dan mempertahankan dirinya dalam realitas yang tidak adil.
Dalam sudut pandang feminisme eksistensialis, cerita ini mengangkat isu kebebasan dan eksistensi perempuan yang terpinggirkan. Nunik sebagai tokoh perempuan mencari arti hidup dan memperjuangkan hak-haknya di tengah situasi yang menyulitkan. Ia menghadapi tantangan yang mengancam martabatnya, tetapi pada akhirnya menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri untuk melawan ketidakadilan yang diterima.

Cerpen "Mahluk Tanpa Kepala" mengingatkan kita akan pentingnya memahami kompleksitas perjuangan perempuan dalam konteks patriarki yang menindas. Cerpen ini menyerukan keadilan, kesetaraan, dan kebebasan bagi semua individu, termasuk perempuan, dalam menentukan nasib dan mempertahankan martabat mereka dalam masyarakat yang adil dan inklusif.

Amanat dalam Cerpen

Cerpen ini tak hanya sebuah fiksi semata, tapi bermaksud membuka kesadaran khalayak pembaca dengan memberikan pesan-pesan yang sarat makna. Mari cermati beberapa makna yang tersirat dalam cerpen ini:

Pembebasan Eksistensial: Cerpen ini dapat menyoroti tema pembebasan eksistensial, terutama dari perspektif perempuan. Penggambaran Nunik sebagai tokoh yang menderita dalam hubungan yang tidak adil dan destruktif menggambarkan perjuangan individu untuk mencapai kebebasan dalam kehidupan mereka.

Ketidaksetaraan Gender: Cerpen ini mengungkapkan realitas ketidaksetaraan gender yang masih ada dalam masyarakat. Tarjo mewakili pria yang memperlakukan perempuan secara kasar dan memanfaatkannya. Hal ini mencerminkan perjuangan yang dihadapi oleh perempuan dalam mencapai kesetaraan, kebebasan, dan martabat mereka.

Tanggung Jawab Individual: Melalui karakter Nunik, cerpen ini menyoroti pentingnya tanggung jawab individual dalam menghadapi situasi sulit. Meskipun Nunik terjebak dalam hubungan yang buruk, ia akhirnya mengambil tindakan untuk melindungi dirinya sendiri dan anak-anaknya dengan memainkan peran aktif dalam mengungkap kebenaran.

Kesadaran dan Kebebasan: Cerpen ini mengajukan pertanyaan tentang kesadaran dan kebebasan individu. Nunik menyadari ketidakadilan yang ia hadapi dan memilih untuk bertindak dalam upaya membebaskan dirinya sendiri. Ini mencerminkan tema kesadaran diri dan kemampuan individu untuk mengubah situasi yang merugikan.

Kejahatan dan Kegagalan Struktural: Cerpen ini juga mengeksplorasi tema kejahatan dan kegagalan struktural dalam masyarakat. Karakter Tarjo menunjukkan kejahatan dan kekejaman individu, sementara respon masyarakat yang lamban dan tidak efektif menyoroti kegagalan struktural dalam melindungi perempuan dan menghadapi masalah ketidaksetaraan gender.

Demikian kandungan makna dalam cerpen ini yang dapat dirangkum, dan mudah-mudahan memberi manfaat untuk pembaca. [MI]


Share:

0 komentar:

Posting Komentar