13 Feb 2014

 

Subyektivitas Total Puisi : Kelebat Diri Penyair

Kepada Ayahanda

:

Kau abadi jadi puisi;
sebab mati itu tubuh,
bukan ruh!

Jikalau tanah telah rengkuh kau
biarlah jasad diurai musnah,
tapi puisi sua kau dan aku jua.

Apalagi yang bisa beri
anggur rindu selain itu?
Hanya puisi saja penyatu – kita tahu

Rakus jiwa cecap manis tetes anggur.
Lalu lena  engkau dan aku lebur
: mabuk dalam satu ruh.


Puisi. Satu kata yang merujuk pada jenre penulisan dalam seni sastra sekaligus mewakili aparatus ekspresi estetik yang mengungkapkan subyektivitas penyairnya.

Adalah puisi yang tampak begitu mengerti riak tertahan dalam diri. Segala sambur limbur perasaan, suasana hati dan pikiran yang mulanya tersumbat; tiba-tiba mendapat penyaluran keluar yang semestinya.

Seorang penyair tak pelak lagi mendaya-gunakan saluran ini sebagai tanggapannya terhadap tiap pengalaman pribadi dalam bergaul akrab dengan alam-di-luar-diri. Seketika tampak kelebatan bayangan diri penyair, tampil menyuarakan alam-dalam-diri. Di sini bisa dikatakan puisi adalah subyetivitas total kedirian penyair. Ia bercerita tentang dirinya sendiri – aku-lirik yang berpendapat.

Pendapat si aku-lirik itu merupakan terjemahan hal-hal yang empiris yang merasuk ke dalam alam kehidupan batin penyair. Adakalanya si aku-lirik tersedu-sedan. Ia mengharu-biru karena gejolak atas peristiwa mengiris-iris kalbu. Namun tak jarang si aku-lirik berseru lantang; ia marah dan tampak garang. Mungkin hal ini disebabkan penolakannya terhadap realitas yang bertentangan dengan idealismenya. Protesnya keras bersuara seperti yang diserukan penyair Chairil Anwar:

Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! Tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi


Lain waktu lagi si aku-lirik dirundung kelam badai. Ia lelah. Langkahnya melemah padahal jalan yang ditujunya masih merentang teramat jauh. Bahkan ia lihat tak berujung-pangkal. Galau pun kian membuat risau. Tanya mendesak jawaban. Menyeruak dalam rasa penasaran teramat kuat, dada berdebar dalam harap cemas:


Dimanakah Ujung Itu Kawan
Karya Jansori Andesta
-

dimanakah ujung itu kawan
setiap tahun dijalani
sekali belum menampakkan kemungkinan
-

dimanakah ujung itu kawan
musim-musim lajang
diwarnai dengan kejalangan
-

dimanakah ujung itu kawan
telah terlalu jauh pangkal
perlahan tertatih sedikit berlari aku tinggalkan
-
dimanakah ujung itu kawan
di setiap gurat jejak
sepenuh harap mendapat jawaban
-

Cermati lesat kedirian penyair yang melalui juru bicaranya si aku-lirik. Dalam Dimanakah Ujung Itu Kawan buah karya dari tangan dingin penyair Jansori Andesta, aku-lirik mengutarakan soal eksistensi diri yang sedang dipertahankan. Ia berenang melawan pusar galau akibat ketidak-pastian tujuan yang sedang ditempuh. Kemana arahnya? Sedang penyair tahu jika tiada berjumpa apa yang sedang ditujunya, segalanya berubah liar tak terkendali // musim-musim lajang/ //diwarnai kejalangan/. Sementara itu waktu tak bisa ditahan. Terlalu terburu-buru masa yang dilewati berlari. Namun, jangankan kepastian, dugaan yang mungkin dapat memberi gambaran hidup yang didambakan terlalu kabur dilihat mata //setiap tahun dijalani/ //sekali belum menampakkan kemungkinan/. Sekalipun telah melemah akibat begitu terkuras energi yang dicurahkan demi pencarian itu, masih juga dipaksakan langkah kaki menelusuri // telah terlalu jauh pangkal/ // perlahan tertatih sedikit berlari aku tinggalkan//. Akankah penyair berpasrah diri? O, tunggu dulu.. Jawabannya adalah tidak sama sekali! Percik asa perlahan mulai menyala. Biarpun masih amat jauh jalan impiannya mau ditempuh; harapan adalah tenaganya yang baru, menguatkan diri tetap mencari //dimanakah ujung itu kawan/ //di setiap gurat jejak/ //sepenuh harap mendapat jawaban/.


Subyektivitas Penyair dalam Situasi Bahasa Puisi yang Bersifat Monolog


Kembali kepada pembicaraan kita semula. Bagaimana penyair menciptakan ”penampakan” dirinya di dalam puisi? Apa gerangan tujuan dari menunjukkan subyektivitas dirinya itu?

Kita akan mencari jawaban atas masing-masing pertanyaan tersebut. Namun, ada baiknya mencemati kembali unsur-unsur penting yang mengkonstruksikan sebuah karya puisi – salah-satunya situasi bahasa yang bersifat monolog.

Puisi dipandang selalu menggunakan situasi bahasa monolog karena si juru bicara (subjek lirik atau biasanya disebut aku-lirik) bercerita tentang dirinya sendiri. Memang kisah yang dituturkannya itu memiliki tujuan penyampaian pesan komunikatif. Aku-lirik membantu penyair mengkomunikasikan pengungkapan gejolak dunia-dalam-diri kepada khalayak pembaca; yang ia asumsikan sebagai pendengar aktif keluh-kesah dan pendapatnya yang tipikal bersumber dari pengamatan subjektif. Dalam Dimanakah Ujung Itu Kawan Jansori Andesta (JA), penyair mendelegasikan aku-lirik agar menyapa pembaca, dan mengajaknya berbicara secara akrab (penggunaan kata ”kawan” lazim digunakan untuk menyapa). Setelah pembaca merasa ada yang mengajaknya ”mengobrol”, JA dalam puisinya mencoba untuk memberikan kepercayaan kepada pembaca sebagai ”sahabat karib” yang sudi mendengarkan segala kerisauan hatinya. Di sini terjadi ”modus transaksi perubahan peran” sedang ditawarkan kepada pembaca puisinya, yakni pembaca yang awalnya hanya penikmat karya puisi telah dinobatkan sebagai ”kawan akrab” yang bisa dipercaya. Lagi kata ”kawan” dipakai penyair sebagai penanda cara mengakrabkan diri dengan pembacanya. Seketika jarak komunikasi antara penyair dan pembaca menjadi dekat. Sekalipun puisi berkisah keresahan jiwa dalam diri aku-lirik (ber-monolog); tetapi dengan modus perubahan peran pembaca yang diberikan penyair, pembaca diajak ”berempati” karena kemuraman yang tengah merundung aku-lirik bisa jadi pernah dirasakan pembaca sebagai manusia biasa. JA berhasil mencairkan kebekuan suasana saat pesan komunikasi simbolik dalam puisinya sedang disampaikan kepada pembaca. Ia menjadikan pokok pikiran utama (secara tematik puisinya mengutarakan kebimbangan manusia akibat impian kehidupan ideal belum diraih) pantas dibicarakan bersama pembaca tanpa rasa sungkan. Sebagai subyek diri yang berpikir dan berperasaan, JA ”curhat” dengan pembaca melalui ungkapan kegalauan si aku-lirik. Ia melihat pembaca sebagai kawannya sendiri. Ia tak mencurigai pembaca sebagai ”Sosok-Yang-Lain”. Ia langsung menumpahkan kerisauan hatinya. Bahkan, penyair melalui aku-lirik jujur sekali mengakui bahwa ia butuh ”tangan yang diulurkan” mau membantunya. Pembaca yang sudah dianggap sebagai sahabat karibnya itu dipandang sebagai sandaran saat rundung kemuraman arah tujuan hidup menerpa diri. Ia seolah-olah berkata:

”Kawan, aku butuh kau.. Bimbinglah diriku lalui kegalauan ini. Akankah kau tega membiarkanku sendirian? Liar tak terkendali karena muramnya kebimbangan hatiku sudah meredupkan akal-budi..”

Hal ini secara eksplisit dan implisit tampak dalam bait kedua puisinya:
//Kemana ujung itu kawan/
//musim-musim lajang/
//diwarnai kejalangan/
Kata ”lajang” berasosiasi dengan rujukan makna ”sendiri belum ada teman”. Frasa ”musim-musim” yang merupakan gaya repetisi dari frasa ”setiap tahun dijalani”, juga menunjuk pada konotasi ”masa yang silih berganti atau waktu yang begitu lama dilalui”. Frasa kata kerja pasif ”diwarnai kejalangan” merujuk pada suasana ”kecenderungan bertindak tanpa kendali diri”, mengingat lema kata ”kejalangan” adalah ”jalang” yang secara semantik bersinonim dengan ”liar”. Gaya ungkap repetisi lagi dipakai JA sebagai menjembatani pengertian tema utama kegalauan. Namun, kali ini lebih ditekankan pada hubungan sebab-akibat antara baris ketiga bait pertama dengan baris ketiga bait kedua.

Sebab aku lirik merasa pencariannya  //sekali belum menampakkan kemungkinan/  mengakibatkan tindakannya mungkin //diwarnai kejalangan/, sehingga jika kita menuliskannya dalam parafrasa akan menjadi:

”Apa yang kucari sekali pun belum menampakkan kemungkinan. Aku tak bisa menghindari tindakanku diwarnai kejalangan akhirnya.”

Oleh karena itu, kawan (pembaca puisi ini).. aku-lirik membutuhkanmu bersedia mendengarkan keluh-kesah yang begitu membuncah. Mari kita simak bait-bait ber-monolog menyapa selanjutnya.
//dimanakah ujung itu kawan/
//telah terlalu jauh pangkal/
//perlahan tertatih sedikit berlari aku tinggalkan/
Karena mengasumsikan pembaca puisinya sudah begitu akrab, JA melanjutkan kerisauannya yang butuh sahabat pendengar setia. Aku-lirik kali ini bercerita bahwa pencarian kehidupan ideal dambaannya itu telah lama dilakukan. Hingga jika diukur rentang jaraknya sedari awal, perjalanan sudah jauh ditempuh //dimanakah ujung itu kawan/ //telah terlalu jauh pangkal/. Keadaannya tampak letih sekali namun masih memaksakan diri mencari karena tak mungkin kembali ke awal  //perlahan tertatih sedikit berlari aku tinggalkan/.

Aku-lirik lalu merenung dalam pada baris pertama dan kedua bait terakhir. Ia memasati pengembaraannya //dimanakah ujung itu kawan/ //di setiap gurat jejak/. Mendapat petunjuk yang mencerahkan bahwa tak perlu berputus-asa dalam kebimbangan pencariannya, harapan menguatkan dirinya lagi bahwa ia kelak menemukan. Aku-lirik pun berujar //sepenuh harap mendapat jawaban/.


Transformasi Diri Penyair ke dalam Aku-Lirik Puisi

Sebagai juru bicara dalam puisi yang dipercaya penyair, aku-lirik yang bermonolog mengekspresikan segenap emosi, ide dan pendapat subyektif penyair itu sendiri. Tiap diksi yang diberdayakan menampung hal-hal yang ingin penyair kemukakan langsung ke hadapan sidang pembaca. Maka, di sini jelaslah penyair menjadikan karya puisinya sebagai wujud lain diri pribadinya sendiri, yang menanggapi berbagai fenomena masuk sebagai ungkapan pengalaman personal. Puisi yang berhasil sungguh tak melulu mengangkat tema-tema berat, dengan diksi yang hebat. Puisi yang berhasil adalah puisi yang mewakili seluruh kedirian penyair yang berkelebat dalam asosiasi yang ditimbulkan, rundung suasana yang melingkupi, citra yang diperlihatkan, respon subyektif dalam ekspresi emosional khusus terhadap hal-hal empiris dialami penyair. (M.I)
 
Share:

0 komentar:

Posting Komentar