“Last night I shot an elephant in my pyjamas and how he got in my pyjamas I’ll never know,” said Groucho Marx, a comedian.
Lelucon memang sering menjungkirbalikkan logika. Sengaja dibuat tak masuk akal dan terkesan imajinatif.
Jika seorang Groucho Marx membayangkan bahwa suatu malam ia telah menembak seekor gajah yang mampir ke dalam pakaian tidurnya, dan lalu mempertanyakan bagaimana bisa terjadi si gajah itu plesiran sampai di sana; maka Marx sebenarnya sedang membentuk imaji ganjil yang disengaja. Namun, citra gajah yang ditembaknya itu niscaya telah menjadi objek kesadaran. Alhasil, terjadilah keganjilan ketika dinalar melalui pembuktian silang pada realitas faktual. Sekalipun demikian, imaji absurd tersebut telah sah sebagai objek kesadarannya. Sebab, Marx bermaksud melucu dan “absurditas disadari” yang dikreasikannya itu berperan fungsional untuk menggugah emosi, melakukan perubahan drastis pada perasaan orang yang mengalaminya (baik yang melawak maupun yang menyaksikan).
Marx itu seorang pelawak. Ia memang berprofesi menyajikan hiburan pada para penontonnya. Ia punya khalayaknya sendiri. Dan, itu sekali lagi memang profesinya. Ia tahu dan mesti bisa mengikuti pedoman prilaku sebagai pelawak. Laku dan ucapnya diharapkan dapat memancing orang-orang tergelak.
Lain ceritanya dengan suatu tindak-tutur yang dua hari belakangan ini sempat memancing emosi negatif publik.
“Yang diperkosa dengan yang memperkosa ini sama-sama menikmati. Jadi harus pikir-pikir terhadap hukuman mati,” jawab Muhammad Daming Sunusi ketika diminta pendapatnya tentang hukuman mati bagi pemerkosa saat uji kelayakan calon hakim agung di DPR. Ia bukan pelawak. Ia tidak punya khalayak penonton (kecuali saat sejumlah anggota DPR ikut tergelak karena menganggap selorohnya lucu). Bagaimana bisa satu keadaan yang serius (fit and proper test) yang menyita energi pikiran cukup banyak antara sejumlah wakil rakyat dengan calon hakim agung Daming tiba-tiba berubah menjadi sebuah dagelan? Tampaknya terjadi kesepakatan untuk menyetujui bahwa soal penjahat kelamin dan korbannya itu bukanlah hal yang penting. Terbukti melalui lelucon aneh Daming yang ditanggapi dengan senang dan gelak spontan sejumlah anggota DPR yang hadir saat itu.
Ironisnya, Daming sadar mengutarakan pendapatnya ini. Sebab secara psikologis, ia sengaja membentuk imaji tentang kondisi “saling menikmati” antara pelaku dan korban pemerkosaan. Maka, secara sadar pula ia menegaskan pendapatnya (melalui kata hubung “jadi” yang bersifat menyimpulkan) bahwa tak perlu ada hukuman mati (atau jangan-jangan terbersit dalam benaknya: kalau perlu tak usah diambil pusing). Ia mengutarakan pendapatnya tersebut dalam kapasitas seorang calon hakim agung. Bukan seorang berprofesi pelawak dan tak punya penonton (kecuali saat sejumlah anggota DPR ikut merasa senang bukan kepalang dengan leluconnya yang absurd itu!).
Groucho Marx memang seorang pelawak. Tetapi, Muhammad Daming Sunusi seorang calon hakim agung. Mereka berdua berbeda. Marx memiliki penonton setianya karena ia mampu menyajikan humor ganjil yang tak memerlukan objek pelecehan. Lain hal dengan Daming yang cuma punya sejumlah anggota DPR sebagai penonton leluconnya yang sinis karena ada kecenderungan “pandangan imajinatif disadari” yang melecehkan korban pemerkosaan - humor yang mengarah pada kekerasan verbal yang dipandang lucu. Antara penonton dan yang menyajikan tontonan telah dijembatani persetujuan untuk saling menikmati sajian lelucon sinis tersebut. Panggungnya ada di dalam gedung para wakil rakyat yang terhormat itu.
Daming tentu tahu ia terikat Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim yang tertuang dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial. Dua butirnya berbunyi:
- Hakim wajib menghindari tindakan tercela
- Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan
Inilah yang mengherankan bagaimana bisa Daming mengabaikannya? Menimbulkan kecurigaan jangan-jangan ia mau alih profesi sebagai “pelawak tak lucu”? Juga membuat banyak orang khawatir bahwa ia mungkin tak punya empati terhadap korban KDRT, Pelecehan dan Diskriminasi Terhadap Perempuan. Menimbulkan syak apakah ia juga punya sikap mendukung para penjahat kelamin? Mengingat betapa besarnya pengaruh kekuasaan hakim dalam memutuskan suatu perkara dan Daming sudah tak ingin jadi hakim lagi karena ia lebih gemar melawak, maka ada baiknya jabatannya saat ini dilepas saja . Sebab, tampaknya telah bersemayam paradoks dalam diri Daming: ia yang bermaksud menjadi “Hakim Agung berhadap-hadapan dengan sikap dan pandangannya “Yang Tak Agung”.
Mungkin suatu upaya memperoleh permakluman publik ketika ia berdalih dengan mengatakan ucapan melecehkannya itu “lepas kendali atau tak disadari”. Tetapi, sebuah lelucon adalah upaya menggugah emosi dengan mencitrakan sesuatu yang ganjil secara disengaja. Dan, agaknya antara Daming dengan yang menyimak lelucon sinisnya itu sama-sama menyukai keganjilan; sekalipun telah menjadikan diri mereka “aneh”. Apakah rakyat suka dengan “Hakim Agung Yang Aneh”? Apakah rakyat masih mau memberikan kepercayaan kepada wakilnya yang ikut-ikutan nyeleneh itu? Tentu saja tidak!
0 komentar:
Posting Komentar