12 Jun 2013

 

Mendidik anak “penguping” yang ekspresif

Ketika sedang duduk santai di beranda, Fauzan (4,5) datang mendekat ke neneknya.

”Dari mana kamu, Zan?”

”Dari warung belanja sama mama,” jawabnya pula.

”Memang beli apa di warung?” pancing ibu saya padanya.

”Kami mana ada yang dibeli,” rajuknya pada nenek, ”Kami minta jajan nggak dikasih. Kata  mama uangnya pas untuk belanja sayuran.”

”Ya, sudah..” ibu saya geli menahan tawa, ”Nanti nenek kasih uang untuk jajan.” Wajah keponakan saya langsung berubah ceria.

”Nek, nek, tahu nggak?” Ia tampak bersemangat mau bercerita seperti biasanya.

”Apa, Zan?”

”Rupanya, nek, anak tante Nurita itu anak angkat.”

”Hah?!” ibu saya sontak kaget, ”Tahu darimana kamu, Zan?”

”Kan, mama cerita dengan Tante Upik di warung tadi. Kata Tante Upik..” ingatannya sibuk memanggil ulang apa yang barusan didengar, ”Tante Nurita itu, kan, mandul! Dia ambil anak dari kakak suaminya di Palembang.”

Mendengar ucapan polos cucunya, ibu saya mau tak mau lepas juga tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sang nenek merasa heran bagaimana bisa cucunya yang berusia  kurang dari lima tahun itu begitu cepat merekam apa yang didengar, lalu melaporkan kembali dengan terperinci persis perkataan orang-orang dewasa.

Tak hanya itu, ada juga peristiwa lain yang menunjukkan betapa ”ucapan asal lepas” ala keponakan saya itu berhasil membuat kami terpingkal-pingkal sekaligus heran.

gaya_si_kecil


Suatu ketika ia diajak mamanya pergi membesuk seorang kerabat yang sakit parah. Di tempat itu telah berkumpul semua sanak saudara dari pihak mamanya. Beragam cerita tentang kerabat yang sakit agaknya ia simak dengan ”baik dan benar”. Ini termasuk pendapat bernada negatif dalam bentuk gosip dan prasangka dari orang-orang yang hadir sehubungan dengan penderitaan si kerabat tersebab sakit parahnya itu.

Tiba di rumah setelah membesuk tadi, si bungsu Fauzan lagi-lagi memberikan ”laporan pandangan mata langsung” pada papanya yang kebetulan baru pulang dari kantor.

”Anak papa banyak cerita..” tegur papanya, ”Dari mana kamu, Zan?”

”Dari nengok Jujuk sakit, Pa..” ia melompat manja dan langsung minta gendong.

”Pa.. Tadi kami nengok Jujuk dirukyah ustadz.”

”Ah, masa, iya, Zan?”

”Iya, Pa.. Jujuk, kan, banyak ilmu. Makanya payah diobati. Semua obat nggak mempan!” paparnya mengungkap kisah dibalik penderitaan kerabat ibunya yang sakit parah itu.

”Hahahaha..” papanya tergelak,”Dengar dari siapa kamu, nak?”

”Mangcik yang ngomong di sana. Kalau susuk dan semua ilmu Jujuk hilang keluar, dia baru bisa sembuh diobati. Jadi harus dirukyah,” terangnya dengan akurasi pengulangan kembali ucapan didengar yang cukup mencengangkan.

Melihat kemampuan Fauzan dalam merekam peristiwa yang dialami dan menceritakan kembali lengkap dengan rinciannya, abang saya (papanya) pernah juga merasa cemas. Betapa tidak? Segala apa yang ia dengar langsung diucapkan kepada siapa saja yang ditemuinya pertama kali. Sehingga, papanya mewanti-wanti agar jangan sembarangan bicara di depan si bungsu yang terlampau ekspresif ini. Pembicaraan yang dikategorikan rahasia keluarga di rumah, atau kritikan terhadap orang lain sebisa mungkin dihindari untuk diucapkan. Karena hanya dengan sepintas lalu mendengar atau ”menguping”, Fauzan mampu mengungkapkannya kepada orang lain. Entah itu tetangga, atau bahkan orang yang baru dikenal.

Apakah putra atau putri Anda yang masih balita juga punya kecenderungan terlalu ekspresif dalam berkata-kata seperti itu?

Jika demikian adanya, Anda harus berbahagia. Sebab di satu sisi tampaknya sang buah hati menunjukkan ciri-ciri anak yang cerdas. Terutama memiliki kecerdasan dalam bidang bahasa – lingual intelligence.

”Mereka yang cerdas kebanyakan fasih berbicara dengan siapa saja – entah itu orang dewasa atau teman sebaya – dibandingkan dengan teman sebaya mereka yang kurang cerdas,” tulis psikolog anak, Dra. Rose Mini A. Prianto S.Psi., dalam artikelnya tentang anak yang banyak bicara.

Tapi, di sisi lain Anda perlu prihatin, karena hal itu cukup mencemaskan jika ia secara apa adanya mengatakan kembali berbagai ucapan orang dewasa tak layak hasil dari kegiatan kreatifnya dalam menguping pembicaraan.

Adakah cara yang efektif mendidik anak dengan bakat pemakaian bahasanya yang khusus ini? Tentu saja ada! Mari simak tips berikut ini:

Mengajarkan metode penceritaan kembali (Re-telling)

Suatu peristiwa yang dialami sebenarnya membentuk bangunan sebuah cerita. Jika peristiwa tersebut cukup menorehkan kesan di dalam hati, ini akan mendorong seseorang untuk mengungkapkannya kembali kepada orang lain. Hal ini juga terjadi pada diri anak-anak. Hanya saja mereka belum bisa menyaring mana bagian yang boleh diutarakan kembali, dan mana yang harus ditahan untuk diungkapkan. Tentunya menyangkut pengalaman anak yang masih ”hijau”. Nah, berkaitan dengan ini, metode re-telling dengan sedikit modifikasi bisa diajarkan padanya. Misalnya, Anda rekam aduan sang buah hati berkenaan peristiwa dengan kesan khusus yang dialaminya, dan perdengarkan kembali padanya. Lalu, Anda harus membimbingnya agar beberapa peristiwa yang kurang bagus, tentunya tidak boleh dituturkan kembali. Berikan alasan yang mudah dimengerti anak mengapa hal ini dilarang. Nasehatilah anak Anda dengan lembut.

Hindari percakapan yang memancing anak ”menguping”

Jangan libatkan anak dalam pembicaraan yang belum pantas didengarnya. Hal ini disebabkan ibarat kata anak adalah kaset yang kosong, ia dengan cepat merekam segala yang didengarnya termasuk berbagai ”ucapan lepas kendali” yang diutarakan orang-orang terdekatnya.

Jangan bergosip dan mengkritik dengan tujuan negatif saat anak ada di hadapan Anda

Anak akan cepat meniru pola sikap dan prilaku dari orang dewasa. Ia belajar menanggapi dengan menimba pengalamannya dari pengamatan di lingkungan sosial terdekat. Jika Anda bergosip dan mengkritik orang lain dengan tujuan negatif karena dipengaruhi sikap emosional semata tepat di hadapan sang buah hati, dijamin anak Anda juga turut melakukan hal yang sama suatu saat kelak. Oleh karena itu, adalah bijaksana bila Anda mengurangi atau kalau bisa menghilangkan kebiasaan buruk ini. Yang terpenting lagi cobalah jangan libatkan anak dalam situasi yang menyebarkan ”rumor” mengenai keburukan orang lain.

Tentunya masih banyak cara-cara elegan untuk mendidik anak dengan kemampuan khusus yang sedang kita bicarakan ini. Semoga artikel ini menjadi semacam motivasi bagi Anda untuk menemukannya dan berbaik hati membagikannya. Saya berharap tulisan sederhana bisa memberikan manfaat untuk Anda. Salam hangat selalu. (M.I)

(*) Sumber foto dari dokumen pribadi.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar