Lukisan merupakan “sesuatu” yang berkaitan erat dengan keinginan manusia. Melalui media lukis, manusia ingin mengekspresikan diri, meyalurkan endapan berbagai warna emosi, dan menyampaikan pendapat individualnya. Di dalam lukisan pula, seringkali tampak impresi atau kesan tertangkap yang diungkapkan kembali oleh seniman terhadap keadaan di sekitarnya, lengkap dengan segala aspek yang melingkupi. Mendayakan kekuatan proporsi, pewarnaan yang dipilih, dan objek-objek yang tampil, lukisan agaknya suatu ungkapan kejujuran yang terencana dan cenderung simbolik dari sumber utama penciptaan – realitas aktual.
Bahkan ada seniman yang berpendapat bahwa kandungan nilai yang paling penting dalam sebuah karya lukis terletak pada ekspresi kejujuran dalam proses melukisnya.
“Suatu lukisan tidaklah perlu bagus. Yang terpenting adalah ekspresi kejujuran Anda dalam melukis,” ungkap seorang perupa di sela-sela pelaksanaan kegiatan“Workshop: Melukis Itu Mudah” di arena Taman Budaya Jambi pada Kamis (06/06/2013) lalu.
Ini berarti peran fungsional sebuah karya seni rupa dititik-beratkan pada kelugasan ekspresi diri pelakunya. Perupa berupaya menyampaikan apa yang bergejolak dalam jiwa melalui aktifitas berkesenian tentang objek yang dilukis (seperti peristiwa berkesan, dinamika perubahan di lingkungan sosial beserta sebab-akibat terjadinya).
Beragam isu aktual sumber penciptaan karya lukis
Adalah perupa Udhin FM yang telah secara jujur, malah terkesan blak-blakan menyoroti persoalan “”penetrasi budaya” yang terjadi di tengah masyarakat.
“Penetrasi budaya itu macam-macam bentuknya, dan sedang terjadi di kehidupan sehari-hari kita saat ini,” terangnya pada seorang pengunjung remaja yang bertanya.
“Jadi harus hati-hati. Kita harus berpegang teguh pada ajaran agama,” tambahnya pula sembari menguas, memperjelas tulisan Arab yang menjadi objek simbolik dalam lukisan.
Penetrasi budaya itu sendiri memang telah menyebabkan banyak generasi muda saat ini menjadi “salah kaprah” mengadopsi kebudayaan yang tak sesuai dengan karakter bangsa sehingga menyebabkan terjadinya “kesesatan langkah”. Hal ini dapat dikatakan sebagai invasi kultural kebudayaan asing yang bertransformasi dalam gaya hidup materialistik dan hilang pegangan akibat menjauh dari tuntunan agama, hedonistik yang hanya mengutamakan kesenangan sensasi indrawi, juga kecenderungan memikirkan diri sendiri saja alias individualistis.
Bentuk nyata dari dampak buruk penetrasi budaya, dalam hal ini kebudayaan barat, terlihat langsung dari pola sikap dan prilaku negatif generasi muda yang terlibat narkoba, pornografi dan pornoaksi. Tak hanya itu, penetrasi budaya juga merembes pada sistem-sistem sosial budaya yang lain, seperti pragmatisme politik busuk yang menciptakan ruang lapang bagi koruptor dan penguasa yang tak berpihak pada rakyat kecil.
Perupa Udhin FM merekam kembali fenomena penetrasi budaya ini ke dalam karya-karya lukisnya. Seperti terlihat pada dua lukisannya yang bertajuk “Narkoba Itu Haram 2010 dan Jangan Renggut Nyawa Anak-Cucuku 2012” di ruang Pameran Besar Seni Rupa Se-Indonesia di Jambi.
Sementara itu, perupa Mike Turusy dari Taman Budaya Sulawesi Selatan mengangkat persoalan kerusakan lingkungan akibat dari pembalakan hutan secara liar dan membabi-buta. Lukisannya bertajuk “Illegal Logging”.
Hutan yang sejatinya sebagai penjaga keseimbangan lingkungan hayati di Indonesia memang kini semakin sempit ruangnya. Pembalakan liar demi meraih keuntungan pribadi oleh oknum-oknum yang tak bertanggung-jawab ditengarai menjadi salah satu penyebab hilangnya hutan di Bumi Pertiwi. Akibatnya, keseimbangan ekosistem terganggu. Jika musim penghujan datang, kebanjiran dan tanah longsor terjadi di berbagai tempat yang pepohonannya di hutan-hutan telah lenyap.
Lain cerita dengan perupa Anthok Sudarwanto dari Taman Budaya Bali. Ia mengangkat persoalan aktual sehubungan dengan diskriminasi yang terjadi pada masyarakat yang berada di strata terendah akibat stratifikasi sosial, cara pandang yang kaku dalam menafsir ajaran agama (fundamentalisme) sehingga menyebabkan maraknya kekerasan atas nama agama dan disharmoni sosial, juga sikap primodialisme mengkultuskan etnisitas tertentu yang mengerucut menjadi tindakan rasis. Lukisannya yang bertajuk “Jejak Tua” itu menggunakan media kanvas dan cat minyak dengan tahun pembuatan 2012.
Pada lukisan karya perupa Adi Damanik tampak seraut wajah badut yang bersedih hati. Badut itu bukan sembarang badut.
Ia badut yang telah mengecap pendidikan tinggi dengan gelar kesarjanaannya. Begitu jelas terlihat pada kostum yang dikenakan si badut sarjana nan malang itu - tubuhnya berbungkus toga. Mimik wajahnya sendu seraya melayangkan mantra. Ia memohon pertolongan dari Tuhannya agar dituntun kembali ke jalan yang benar. Perupa dari Taman Budaya Sumatra Utara ini agaknya tengah mengutarakan sebuah ironi sehubungan dengan isu aktual yang disimaknya.
Mari cari tahu mengapa sang seniman mengekspresikan secara jujur pendapatnya melalui lukisan tersebut sedemikian rupa.
Rupanya para koruptor dan penjahat kerah putih yang tengah ia soroti. Kita tahu kebobrokan moral akibat mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan yang marak terjadi dengan tindakan korupsi dan kejahatan korporasi lebih banyak dilakukan oleh ”orang-orang pintar” saja, notabenenya mereka yang berpendidikan tinggi tapi lupa diri.
Demikianlah cara seniman yang mengungkapkan secara jujur berbagai isu aktual di masyarakat melalui karya-karya lukisannya. Bagi kita setidaknya bisa mencermati sekaligus menangkap pesan yang ingin disampaikan para seniman. Sungguh beragam persoalan seperti korupsi, narkoba, intoleransi yang mengarah pada terorisme yang terjadi di tanah air ini akan tetap mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun demikian, jika kita bersatu dan mau terlibat aktif mencari jalan keluarnya, tentu saja cita-cita luhur dari para pendiri negara Indonesia untuk menjadikan bangsa kita bermartabat, hidup rukun dalam kemajemukan, keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan terwujud. (M.I)
Catatan :
1. Lukisan-lukisan ini dipamerkan di ruang Pameran Besar Seni Rupa se-Indonesia 4-8 Juni 2013, bertempat di Taman Budaya Jambi.
2. Penafsiran terhadap pesan-pesan simbolik yang ditulis dalam artikel ini adalah semata pendapat penulis berdasarkan pengumpulan data yang didapat dari lapangan. Untuk memberi penilaian yang tepat terhadap karya-karya lukisan tersebut tentunya penulis belum berkompeten melakukannya, disebabkan kekurangan pengetahuan dan pengalaman pada bidang seni rupa. Oleh karena itu, mohon kritik dan sarannya dari para pembaca sekalian.
3. Sumber semua foto dari dokumen pribadi.
0 komentar:
Posting Komentar