Seperti biasa Lucia tampak lebih hidup ketika berhadapan muka dengan dindingnya. Siapa sangka? Si putih pucat itu lebih mirip manusia kini. Hari-hari yang sudah ia lewati dulu.. Ya, saat sebelum dinding kusam berlumut memanggilnya, sungguh serasa berada di taman pemakaman. Tapi kini wajahnya semburat memerah. Ia telah bangkit dari makamnya. Ia mahluk bernyawa berkat dinding di belakang rumahnya yang lembab itu.
Dinding itu selalu mengerti apa saja yang Lucia rasakan. Padahal ia belum punya cukup waktu untuk sekadar menyusun kata demi kata yang mewakili tiap warna perasaannya. Dan sekarang Lucia kembali terkesima ketika dinding tahu apa yang sedang diresahkannya.
“Jangan potong rambutmu, Lucia. Kau tahu? Berambut panjang itu kesenangan dan kekayaan, bahkan sebuah kemewahan. Tiap helai rambutmu adalah kelembutan jiwamu. Kau dan diri perempuanmu.” Lucia hanya diam. Jemarinya yang lentik terlihat khusyuk mengusap dan sesekali memelintir ujung rambutnya.
“Tapi aku ingin bebas dari siksaan yang tak perlu ini! Bisa melakukan apa saja secepat mungkin, bahkan lebih awal bertindak dari tiap lintasan hasratku sendiri. Tanpa harus pusing oleh rambutku yang begitu merongrong, minta perhatian ini.”
“Jadi kau merasa tidak dapat melakukan apa pun lebih maksimal karena rambutmu, benarkah?” dinding itu tersenyum tipis.
“Ya. Rambut ini telah menjajahku begitu lama.”
“Dalam hal apa, Lucia?”
“Hei, dinding.. Tidakkah kau tahu? Rambut ini memberiku perasaan cemas. Kini berubah menjadi ketakutanku. Aku takut bertemu orang kalau rambutku kusut. Aku cemas kapan saja kulit kepalaku gatal, berjamur ketombe. Lebih gawat lagi, dinding.. Jangan-jangan satu pleton kutu sedang merencanakan makar tanpa sepengetahuanku. Mempersenjatai diri supaya bisa merusak otakku melalui pori-pori kulit kepalaku. Huh.. Kegiatan mereka pasti tersamar kerimbunan rambutku yang memanjang!”
Dinding coba memahami keresahan Lucia, “Hmm.. Baiklah. Kau boleh memotong rambutmu, tapi harus tetap bisa dikatakan panjang, ya?”
“Maksudnya, Dinding? Aku tidak mengerti..”
“Lucia.. Lucia.. Lucia.. Aku juga takut jika melihatmu berambut terlalu panjang. Tak pernah sekalipun kau potong. Apalagi kalau dengan rambutmu yang kian memanjang itu, kau padu-padankan dengan gaun sutra putih lembut. Bayangkanlah.. Kau bergaun model polos terkibar-kibar begitu, berambut panjang terurai tapi kusut masai. Ah, membuatku kecut!”
Tawa si gadis putih pucat itu seketika meledak, “Ah, kau.. Maksudmu pasti ingin mengatakan aku akan mirip hantu berambut seperti itu, kan?”
“Mmm... Kurang lebihnya begitulah..”
“Nah, kan.. Kau mulai lagi..” Dinding tak sempat mengelak ketika Lucia mencubitinya. Cubitan kecil dan canda selalu berhasil merekatkan dua material berbeda itu menyatu. Persenyawaan yang mungkin sulit didefinisikan tapi tentu dapat saja terjadi hanya antara Lucia dan dindingnya. Mereka larut dalam suasana bahagia. Hidup dalam keceriaan. Dalam dunia mereka selalu begitu!
Bukan tanpa alasan bila dinding selalu menemukan cara membuat Lucia senang. Sebenarnya diam-diam dinding juga menyimpan kekaguman pada Lucia. Ia merasa beruntung mengenal dekat si cantik itu walaupun ia tahu nasibnya begitu malang. Siapa yang tidak terpikat oleh kecantikan si gadis putih pucat itu? Seandainya bintang, Lucia bersinar sekalipun letaknya di ujung langit kelam – penunjuk jalan musafir tersesat. Dan, jika berkas lembut mentari pagi tak punya tugas menghangati seisi bumi, tentu saja lebih memilih untuk memberikan kehangatan padanya. Namun, Lucia lebih suka jika ia dicintai oleh dinding kusam berlumutnya. Mungkin karena dinding itu saksi yang tak rewel, mau mendengarkan segenap keluh-kesahnya sejak lama. Bahkan sejak Lucia terkubur paksa di sana tanpa penanda sama sekali!
0 komentar:
Posting Komentar