“Jika langit menjatuhkan buah anggur, bukalah mulutmu.” ~ Pribahasa Sisilia
Pemikiran kritis yang tumbuh, berkembang dalam rangka membangun kebebasan berpikir dan sikap intellektual seseorang; hal ini bisa dilihat dari pertanyaan yang diajukannya. Orang yang memiliki pemikiran kritis tentunya tak mau menerima begitu saja sesuatu hal tanpa menganalisanya dengan cermat. Ia akan mengajukan sejumlah pertanyaan, menanggapi dengan cerdas dan melihat dengan sejernih mungkin apakah sesuatu hal yang baru saja ditawarkan padanya dapat bermanfaat atau sebaliknya. Demikian pula dengan sejumlah pertanyaan dan tanggapan luar-biasa cerdas yang diajukan teman-teman kompasianer kepada saya ketika menanggapi artikel sederhana saya sebelumnya.
Alhasil, saya seperti mendapat anugerah dari langit. Benak saya seketika terang-benderang, ilham berkelebat masuk dan menggerakkan saya menulis artikel ini. Sebagai penulis, apa jenis kebahagiaan yang tak terperikan? Apa yang bisa membuatnya bergairah menciptakan sebuah karya tulis dalam rentang waktu bagai ombak menderu-deru? Tak lain adalah bertandangnya dengan gaya seksi semlohay dan mempesona sosok yang disebut ”ide penulisan”. Untuk itu saya menghaturkan ribuan terima kasih kepada teman-teman kompasianer dengan pemikiran kritisnya yang inspiratif, yang mana telah dihadiahkan kepada saya secara cuma-cuma. Tuhan saja yang bisa setimpal membalas kebaikan mereka.
Artikel ini, sebagaimana kita ketahui bersama, berawal dari ”ide penulisan yang ditemukan” (found subject). Sebab, saya terinspirasi menuliskannya atas dorongan kuat yang positif seketika – pertanyaan dan tanggapan cerdas sahabat kompasianer. Oleh karena itu, saya melalui tulisan ini bermaksud mengajak para sahabat semua (khalayak pembaca di Kompasiana) berdiskusi lebih lanjut dengan pokok bahasan: internalisasi gagasan ke dalam diri pembaca karya tulis kita. Ada beberapa poin yang hendak saya ajukan sebagai bahan obrolan kita. Saya akan menguraikannnya satu per satu. Baiklah kita mulai saja berdiskusi.
Apa itu internalisasi gagasan?
”Karena sering kali penulis punya ide brilian, tapi tidak popular. Imbasnya ya ke pembaca yang sedikit, ilmunya tidak menyebar betul.” ~ FANDI SIDO, penulis produktif sejumlah jenre tulisan dan blogger aktif.
Gagasan yang cemerlang memang menggairahkan, orisinil, namun ada kemungkinan besar tidak mudah dipahami, diterima dan selanjutnya diadopsi khalayak pembaca. Akibatnya, sebagaimana yang dijelaskan Kompasianer Fandi Sido, kandungan ilmu pengetahuan, baik yang bersifat konsep teoritis maupun petunjuk praktis terhambat penyebarannya. Padahal jika gagasan cemerlang tersebut telah ”popular”, maka pesan komunikasi yang terkandung di dalamnya, tujuan penulisan, perubahan pola pikir dan prilaku sosial yang ditawarkan penulis, akan cepat diadopsi sebagai dasar pijakan pemikiran baru untuk menciptakan kemaslahatan bersama.
Kita akui dengan kejujuran hati yang tulus: ”Seorang penulis adalah juga seorang pembaharu. Agen perubahan sosial di masyarakatnya.”
Karenanya, sebuah tulisan yang mengandung pesan inovatif dalam gagasan cemerlang untuk merubah kondisi semula menuju ke arah kondisi baru yang lebih baik; sangat penting disebar-luaskan. Tentu saja hal ini membutuhkan metode atau cara-cara yang efektif yang kita sebut sebagai ”internalisasi gagasan.” Secara definitif, internalisasi gagasan adalah menawarkan kepada pembaca (jika hal ini disebarkan melalui karya tulis), mengajukan suatu bentuk pola pikir baru yang bisa secara teoritis dan praktis dimanfaatkan ”audience” atau khalayak pembaca untuk meninggalkan kebiasaan lama, menanggalkan cara berpikir konvensional dan menggantikan dengan cara yang ditawarkan penulis sebagai pijakan konseptual dalam bertindak.
Pertanyaannya sekarang: ”Bagaimana cara agar gagasan inovatif yang cemerlang itu bisa dengan mudah diterima? Bagaimana pula cara yang efektif untuk ’mempopularkannya’?
Internalisasi gagasan
Mari cermati tahapan pengiriman informasi gagasan perubahan di bawah ini:
Pada skema di atas, penulis memiliki ”ide brillian” (meminjam istilah Fandi Sido). Penulis tahu bahwa gagasannya itu baru, belum terlintas dalam benak siapa pun kecuali dirinya. Ia memahami itu secara sadar. Ia tahu gagasan barunya itu butuh disebar-luaskan. Hal ini tentu saja berkaitan dengan cara penyampaian yang efektif (termasuk pemilihan media penyebaran yang tepat) mesti ia gunakan. Oleh karena itu, penulis pun menentukan media perantara penyebaran gagasannya.
.
Sekali waktu ia memanfaatkan media jurnalisme. Ia harus sadar bahwa jurnalisme yang akan digunakannya tentu menghasilkan laporan. Sejumlah fakta-fakta sosial yang diselidiki dan ditemui penulis dikonstruksikan ke dalam wacana reportase. Agar lebih lengkap dan mampu menarik minat pembaca, penulis mesti memilih dua bentuk tulisan reportase: jurnalisme investigatif atau jurnalisme sastrawi. Dua tawaran pilihan ini ditetapkan, karena jenis reportase ”straight news” hanya berisi laporan aktual singkat, belum tentu mampu menggerakkan pembaca menerima ”ide brillian” yang mau disosialisasikan penulis. Pemilihan media penyampaian gagasan perubahan dalam bentuk reportase jurnalisme investigatif dipandang penulis baik, karena penulis bisa mengungkapkan kumpulan fakta selektif (setelah melalui penyelidikan teliti) tentang pentingnya perubahan terjadi di masyarakat. Reportase investigatifnya itu penulis bisa mengorganisasikan tulisannya dalam bentuk berita kisah (feature) lengkap dengan foto. Intisari dari penulisan berita kisah yang penulis susun; tentu saja harus mampu menyajikan fakta, dan sekaligus membujuk khalak pembacanya agar mau menerima tawaran gagasan cemerlang untuk mengatasi persoalan aktual temuan tersebab oleh sifat mendesaknya.
Lain waktu rupanya penulis memutuskan untuk mengemukakan gagasan perubahan tawarannya kepada pembaca melalui jurnalisme sastrawi. Ada baiknya ia mencermati saran dari seorang pemikir besar berikut ini:
”Jurnalisme menghasilkan laporan, ilmu memberikan analisa, sedangkan esai hadir sebagai kesaksian,” terang Ignas Kleden.
Ignas Kleden jelas menganjurkan agar penulis ”menggubah” tawaran gagasan perubahannya ke dalam konstruksi esai. Sebagaimana kita pahami bersama, sebuah esai juga termasuk bentuk penulisan laporan aktual, tulisan yang menyelidiki secara langsung (karenanya dipandang sebagai ”saksi”) fenomena yang ada, tetapi tidak begitu kaku dalam penyampaian. Sebab, esai juga merupakan jurnalisme sastrawi yang tak hanya membuka wawasan pembaca, tetapi juga lebih cepat mengena di kehidupan batin pembaca. Hal ini dikarenakan esai mampu merangkum poin-poin pendukung gagasan perubahan yang ditawarkan secara informal (esai dipandang sebagai bentuk obrolan mesra antara penulis dengan pembacanya secara aktif). Esai yang dimaksudkan sebagai bentuk konkrit jurnalisme sastrawi pilihan penulis akan membujuk, mengajukan argumentasi dengan lembut, menuntun dan memeluk mesra sidang pembaca, agar mau menerima gagasan perubahan. Di Indonesia, Goenawan Mohamad melalui catatan pinggirnya di Majalah Tempo selalu saja dirindukan para pembaca, bukan?
Mengapa esai yang harus dipilih penulis? Lebih jauh lagi diterangkan Ignas Kleden:
”Sebuah esai biasanya ditulis secara spontan, entah karena ada pikiran yang melintas dan dirasa penting atau menarik, entah karena ada dorongan perasaan yang sangat kuat untuk menyatakan sesuatu dalam bentuk tulisan…”
”Sebuah esai, karena itu menjadi prosa yang dibaca karena memikat dan mencekam perhatian tatkala daya-tarik itu muncul karena ada bayangan penulis berkelebat atau mengendap di sana.”
Penjelasan gamblang ini sesuai dengan tujuan kita, yakni penyebaran ”ide brillian” agar ”popular” dan diterima sebagai konsep pemikiran baru bagi pembaca, tanpa pembaca merasa perlu menolak bahwa gagasan cemerlang yang ditawarkan padanya itu mengandung unsur subyektivitas diri penulis esai. Khalayak pembaca bahkan merasa senang karena penulis dengan tawaran gagasan cemerlangnya tak mendekati diri mereka secara kaku, dingin dan seolah-olah menyimpan maksud ingin ”mencuci-otak”. Sebab, penulis melalui tulisan jurnalisme sastrawi dalam format tulisan esainya itu bebas mencurahkan isi hatinya kepada penerima pesan komunikasi (audience). Ia (penulis) tak berupaya menghindari kecenderungan subjektif ketika mengemukakan alasan-alasan akan pentingnya pembaca menerima ”ide brillian” yang ditawarkan. Pembaca membuang rasa curiganya. Pembaca melemparkan prasangkanya tentang diri penulis yang sebenarnya mau mempengaruhi alam pikiran dan perasaannya.
Kita harus akui secara blak-blakan saja: ”Menulis juga merupakan aktivitas pencucian otak pembaca (brainwashing) oleh kelihaian penulis mengemukakan gagasan pemikiran baru.”
Jika ingin melihat pembaca sepertinya ”berpasrah-ria”, membaringkan secara seksi dan menggairahkan akan jiwanya untuk disetubuhi penulis, supaya penulis dapat ”membiakkan” benih ide nan genit lagi gesit menuju ruang rahim kehidupan batin pembaca, maka esai adalah sebentuk rayuan yang paling pas digunakan untuk tujuan itu.
.
Suatu ketika penulis rupanya juga tergoda untuk memanfaatkan karya fiksi agar tujuan mempopularkan gagasan cemerlangnya dapat diterima pembaca. Ada baiknya kita mencermati langkah yang diambil seorang penulis fiksi yang bernama asli Katherine O’ Flaherty, atau dikenal luas sebagai Kate Chopin.
O lala! Chopin rupanya punya ide brillian soal penyaluran nafsu berahi (hehehe…). Ia memandang nafsu berahi adalah kekuatan alamiah dalam tiap diri manusia selain daripada akal-budi. Ia menganjurkan pembaca agar jangan merasa bersalah atau sungkan ketika ada suatu keadaan tertentu yang mendorong orang untuk ”memuncratkan” hasrat bercinta dengan pasangannya, demi kelestarian dirinya (sah atau tidak sah secara moral). Bagi Chopin, jika pembaca yang mengadopsi anjurannya itu, maka beban kehidupan sehari-hari akan terasa ringan. Mentari bersinar lebih hangat lagi dan guncangan hidup akibat rutinitas membosankan terasa bagai belaian lembut angin sepai-sepoi. Oleh sebab itu, perselingkuhan (intisari dari tawaran ide cemerlangnya) dikonsepsikan sebagai sebuah petualangan sensasional yang dapat memberi warna tertentu dalam kehidupan batin pembaca.
Lalu, gagasan cemerlangnya ini dimaksudkan agar bisa diterima dengan senang hati oleh khalayak pembaca. Ia pun lalu menulis cerita pendek bertajuk ”Badai”. Sebelum menulis ceritanya, ia menyadari bahwa kecemerlangan tawaran gagasannya itu mungkin saja terlalu ”menakjubkan” kilau cahayanya. Bisa jadi membuat silau pembacanya sehingga tak bisa melihat dengan jelas pesan yang hendak disampaikan. Ia sadar orang menjadi buta tak hanya dalam pekat kegelapan. Namun, orang juga kehilangan daya penglihatan ketika terpapar langsung dengan cahaya yang benderang. Apa yang harus ia lakukan? Mari lihat caranya mengemukakan argumentasi melalui pembauran alasan-alasan subjektif dengan pemaparan kondisi faktual yang ada di dalam rancang bangun ceritanya.
Melalui karakterisasi, Chopin berupaya memaparkan gagasan cemerlang tentang perselingkuhan bukanlah sebuah ”dosa”, melainkan spontanitas kuat yang tak dapat dicegah. Ia mencoba menggambarkan argumentasi logis melalui tingkah laku tokoh utama cerita, yang mana digambarkan bahwa perbuatan serongnya saat sang suami tak ada di rumah disebabkan dorongan alamiah yang mendadak. Alam mendadak memberikan kesempatan pada orang untuk berpetualang, demikian kira-kira maksud alasannya. Ia lalu merinci apa saja keadaan mendesak yang menyebabkan orang harus melakukan ”pengkhianatan cinta dengan indah”. Dipaparkannya pula pendapat tentang kesetaraan jender dan ekspresi diri dari ”kehendak bebas” untuk menikmati hidup juga berhak diterima kaum perempuan. Ia menolak pendapat masyarakatnya yang mengekang kaum perempuan dalam norma-norma ketat perkawinan, yang menurutnya telah mendakwa kaum perempuan sebagai ”tahanan” kaum lelaki. Bagi Chopin, kaum perempuan mesti mampu memanfaatkan kesempatan yang ada agar dapat bebas dari segala belenggu moral yang nota-bene menjadikan mereka sebagai ”the second-sex” (meminjam istilah tokoh feminisme radikal Simone de Beauvoir), yang hanya menjadi korban dominasi peran laki-laki dalam kesehariannya.
Pelan tapi pasti Chopin menginternalisasi gagasan cemerlangnya tentang kebebasan perempuan dalam berekspresi boleh dimulai dengan cara ”berselingkuh” (hahaha… saya sendiri ketika pertama kali membaca ceritanya sempat terpukau.). Selanjutnya, Chopin membuat kesimpulan jika kaum perempuan berani membebaskan diri mereka dari dominasi nilai-nilai yang mengekang kebebasan individual, hanya kebahagiaan bukanlah penderitaan yang akan didapat sebagai ganjaran setimpal perjuangan mereka.
”Ia seorang istri yang berbakti pada suami, dan merasa senang bahwa untuk sementara waktu ia dibebaskan dari keintiman perkawinan.
Jadi, badai sudah reda dan semua merasa senang.”
Kate Chopin menutup ceritanya namun tak lupa memberi inti pesan kepada pembaca, yakni kebahagian didapat kaum perempuan yang berani memutus rantai nilai-nilai yang membelenggu kebebasannya.
Kita bisa melihat bahwa kekuatan cerita fiksi dapat mempermudah niat kita untuk menginternalisasi gagasan baru ke dalam diri pembaca. Penulis cerita fiksi dapat membujuk pembaca agar mau menerima tawaran gagasan dengan cara melukiskan sejumlah kenyataan (realitas faktual) yang disusun sebagai gambaran yang dapat mudah dipahami, yang dibangun berdasarkan logika dan kemungkinan (realitas fiksional). Mengapa bisa demikian? Hal tersebut karena cerita fiksi yang apik punya kekuatan mempengaruhi hati dan pikiran pembaca, menenggelamkannya dengan cara menarasikan sesuatu yang khusus (tawaran gagasan perubahan yang memberikan pengalaman menggiurkan terbaru) menjadi sebuah kesan tak terlupakan, mengendap dalam jiwa pembaca. Pada titik ini, penulis yang menggunakan media cerita fiksi sebenarnya sedang mengikis pelan-pelan konsep pemikiran lama yang ada dalam diri pembacanya, lalu perlahan mengarahkan pembaca agar mau menggantikannya dengan ”sesuatu yang baru” tak lain adalah tawaran gagasan perubahan itu sendiri.
.
Kesimpulan Internalisasi Gagasan
Internalisasi gagasan cemerlang milik seorang penulis bisa dengan mudah ditanamkan ke dalam benak pembaca jika mempertimbangkan hal-hal berikut ini:
Gagasan cemerlang atau ”ide brillian” itu menawarkan perubahan yang bisa diterapkan secara pragmatis oleh pembaca. Ini berarti ketika khalayak pembaca telah menerimanya; mereka bisa langsung menerapkan dengan senang hati sesuai tuntunan praktis yang dikemas seorang penulis melalui rincian yang terkandung dalam karya tulisnya sebagai media perpindahan pesan komunikasi.
Penulis mesti bisa jeli melihat mana ragam bentuk media penyampaian gagasan cemerlangnya itu yang paling efektif untuk digunakan. Jurnalisme dalam bentuk reportase investigatif yang dikemas dalam berita kisah, esai sebagai wujud kongkrit jurnalisme sastrawi yang bisa secara luwes bergaul dan merayu pembaca dapat dipandang sebagai media penyampaian tawaran gagasan cemerlang milik penulis kepada pembaca. Atau, mungkin dengan karya sastra dengan berbagai jenrenya yang dapat menarasikan suatu keadaan khusus (pentingnya pembaca menerima gagasan dari penulis) menuju suatu keadaan yang umum-manusiawi (kemaslahatan sesuai dengan harapan pembaca.).
Demikian yang bisa saya tulis untuk sahabat kompasianer semua. Semoga bermanfaat dan salam kreativitas. (M.I)
(*) Bacaan lebih lanjut : Esai: Godaan Subyektivitas, Ignas Kleden, Majalah Sastra Horison, Tahun XXXVIII, No.1/2004, Januari 2004.
0 komentar:
Posting Komentar