diam, tak banyak kehendak.
Mematung di dekat pagar besi jembatan berkerak.
Tatapannya masih menerawang,
masih saja dicarinya yang telah hilang,
tempatnya bisa teguh memegang:
orangtua dan adiknya tersayang.
Pernah didengarnya orang berkata,
"Biarlah mereka sedang di telaga surga,
membasuh wajah dari kerak duka menjelaga."
Yang dia tahu kemarin keduanya mengambang,
gagal lepas dari cengkeram derita yang garang.
Sang Bunda salah sangka,
pikirnya arus Cisadane yang deras
bisa dengan cepat mengantarnya,
gegas menempuh jalan pintas
menyusul bapaknya yang telah lama pergi.
"Hanya bersama bapakmu, Nak,
kita akan kuat menahan sesak!"
sendu kedua mata ibunya berkata.
"Kamu harus ikut ibu dan adikmu ke sana.
Supaya sunyi tak menyergapmu di sini," bujuk ibunya lagi.
"Biarkan aku di sini menunggu bapak sendiri, Bu," bantahnya saat itu.
Tak ikut pergi takut bapaknya datang nanti,
bisa jadi malah bingung mencari-cari.
Tinggallah dia sendiri sampai kini,
duduk di sana sedari tadi.
Dia biarkan dirinya dirangkul sepi,
meredam riak menggejolak nun di lubuk kalbunya yang lirih:
"Mudah-mudahan ada tempat di surga
0 komentar:
Posting Komentar