2 Okt 2013

 

Menjumpai Indri Hapsari dalam Puisi “Sepeda Ibu”

Dokumentasi artikel yang sebelumnya ditulis pada 27 September 2013 | 00:28

 Apa yang terpanggil keluar dari kesadaran paling bawah milik Anda ketika mendengar kata “ibu”?

Mungkin yang pertama kali terbersit dalam benak, “ibu” adalah sosok mulia yang melahirkan, merawat, membimbing dan menjadi guru pertama anak-anak dalam segala hal di kehidupan ini. Utamanya ibu adalah pembentuk watak, pola pikir dan sikap dalam menilai baik atau buruk yang kelak dihadapi buah hatinya dengan segala kemurnian diri.

“Ibu selalu terkait dengan penentu nilai moral dalam kehidupan. Sementara anak-anak akan memberikan sebuah cermin kepolosan dalam diri manusia,” tulis Koes Yuliadi dalam esai kritiknya (Ibu, Utopia dalam Sinema? - KOMPAS, Minggu, 15 September 2013, halaman 20).

Mencermati pendapat dari Sineas dan Kandidat Doktor ISI Yogyakarta di atas, kesimpulan yang mungkin kita ambil adalah berhubungan dengan peran fungsional sosok ibu. Seorang ibu adalah sutradara yang membentuk kepribadian anaknya: kelak menjadi orang yang bermartabat mulia atau sebaliknya. Sentuhan ketulusan seorang ibu dalam membimbing anaknya akan menjadi pedoman bagi sang buah hati ketika menghadapi berbagai hal di kehidupan nyata. Ibu adalah tangan pengetahuan yang menulis tinta pada lembaran putih bersih (baca: kepolosan) jiwa anak. Misalnya, jika seorang ibu mencurahkan kasih sayangnya dengan tulus dalam rangka memberikan pemahaman tentang kesabaran yang dapat membuka akal-budi sang buah hati ketika tertimpa kesulitan hidup, niscaya anaknya dewasa nanti akan mampu bertindak bijaksana dalam merespon realitas yang menjepit dirinya dengan ketabahan pula.

Begitu pentingnya peran ibu! Sehingga ”tiada sepotong ubi pun yang tak bisa diolah ibu” demi mengenyangkan perut anaknya (yang ini bercanda jangan terlalu serius, hehehe…).

Kita sudah memaklumi betapa mulianya sosok ibu dalam hal membekali kehidupan anak manusia. Bahkan, telah sah diakui kehidupan awal berkembang tak lain berkat sang ibu. Sastrawan besar Rusia, Maxim Gorky, secara elegan menyatakan:

“Tetapi lagu tercantik dari semua yang dinyanyikan,
Lagu awal segala sesuatu di atas bumi,
Lagu jantung hati dunia, hati yang magis,
Tentangnya yang di atas bumi kami menyebutnya Ibunda.”


Semua hal jika berbicara tentang kemuliaan sosok ibu begitu magis, seperti misteri yang tak bosan-bosannya ditelusuri. Betapa tidak? Jagat ketulusan ibu yang hangat telah mampu merubah segala yang rendah menjadi tinggi. Sentuhan kasihnya yang mengalir laksana air pegunungan sejuk ketika direguk telah menghilangkan setiap cekik dahaga kesulitan hidup anaknya.

Dalam tema besar kemuliaan sosok ibu juga penulis Indri Hapsari mengajak kita semua berkontemplasi, menanyakan kepada diri sendiri seberapa jauh kita mampu mengingat jasa ibu? Bagaimana bisa kita menjadi seperti saat sekarang ini tanpa kesabaran dan kelembutan bimbingan ibu? Baiknya kita langsung saja menyimak puisi indahnya berikut ini:


SEPEDA IBU

Karya Indri Hapsari


Pegang yang erat ya Nak
Ibu akan berhati-hati
Agar laju Ibu tetap lurus
.
Tetap pegang Ibu ya Nak
Tak perlu renggut ujung baju
Cukup lingkarkan di pinggang Ibu
.
Taruh kepalamu di punggung Ibu ya Nak
Tapi jangan tertidur
Ibu takut kau jatuh
.
Ibu akan berusaha supaya cepat sampai
Agar jangan kau kepanasan
Atau kita belum jua sampai
saat hari akan hujan
.
Sabar ya Nak
Roda sepeda Ibu memang kecil
Tapi kayuhan Ibu besar



Parafrasa Bait per Bait Puisi SEPEDA IBU

Sebuah teks sastra biasanya memiliki bagian yang kosong dimana memberikan kesempatan pada pembaca untuk mengisinya melalui penafsiran. Hal ini tentu saja berlaku juga pada karya puisi SEPEDA IBU hasil daya kreatifitas intelektual dan cita rasa tinggi penulis Indri Hapsari.

Tetapi, kita mesti cermat dalam menafsirkan puisi agar bagian kosong (baca: makna tersirat) yang terkandung bisa terisi dan melengkapi keutuhannya sebagai teks sastra yang indah. Sebab, puisi sangat berbeda dengan jenre lainnya yang bisa dengan mudah pembaca mengetahui maksud dari pengisahan peristiwa yang disajikan berkat tradisi alur pengisahannya atau pun cara penuturan dramatik, gerak teatrikal sebagaimana ditemukan dalam karya prosa dan drama. Lain cerita dengan puisi yang lebih simbolik dan mengatakan ”hal yang khusus” untuk menunjukkan kepada penikmat sastra tentang yang umum manusiawi — universal. Dalam pemaparan temanya, puisi sehemat mungkin menggunakan kata namun seboros mungkin membagikan berbagai kemungkinan makna yang terkandung.

”Puisi dapat dianggap sebagai informasi yang  dipadatkan, yang mengungkapkan sebanyak mungkin dengan sedikit kata,” tulis Jan Van Luxemburg, Mieke Bal dan Willem G. Weststeijn dalam bukunya yang berjudul Tentang Sastra (hal.87).

Puisi SEPEDA IBU ini mengemukakan hal khusus, yang secara kontekstual merujuk pada narasi seorang ibu yang sedang mengajak buah hatinya plesiran dengan sepeda. Di dalam perjalanan mereka, subjek lirik utama ”ibu” memberikan nasehat, bimbingan dan menumbuhkan keyakinan akan kekuatan dari ikatan kasih sayang mampu mengatasi segala rintangan yang mungkin dihadapi. Ibu dalam puisi ini juga mengajarkan tentang cahaya kesabaran mampu menerangi gulita alam benak si anak yang dicekam ketakutan ketika melintasi jalan tak mulus (”jalan” hadir secara in absentia, yang merujuk pada makna segala kenyataan mungkin yang akan dihadapi anak – subjek lirik pendukung yang berperan sebagai pendengar bisu).  Agar lebih jelas mari simak parafrasa bait per baitnya.

Bait I

Kita akan pergi ke suatu tempat yang menyenangkan, anakku. Hanya berdua saja dengan naik sepeda ini. Mungkin jalan-jalan yang akan kita lalui bukanlah jalan-jalan yang mulus. Bisa jadi penuh lubang, berliku dan berdebu. Bahkan, kita juga mungkin harus menerobos segala perintang yang menghadang. Di dalam perjalanan kita nanti ingat pesan ibu, ya, nak.. Pegang yang erat, ya, nak. Supaya kau tak terjatuh dari boncengan ibu. Jangan takut anakku! Tinggalkan saja cemas dalam hatimu di sini! Sebelum kita memulai perjananan. Tentu saja ibu akan berhati-hati. Ingatlah kau sedang bersama ibumu! Segala sesuatu akan baik-baik saja. Yakinlah, aduhai anakku! Sebab, akar keyakinan yang tertanam kuat dalam hatimu dan ibumu akan menjaga kita berdua agar laju ibu tetap lurus.


Bait II

Anakku, lihatlah di sana! Deru debu membubung. Tapi, samar-samar ibu bisa melihat jalan yang akan kita lintasi di sana.. Anakku, jalan itu berlubang dan berliku! Namun, janganlah kau khawatir! Singkirkan rasa takutmu! Kau sedang bersama ibu. Tetap pegang ibu, ya, nak. Sebab, tak jarang nanti kita berdua akan terguncang-guncang. Jangan takut, buah hatiku. Tak perlu renggut ujung baju ibu. Peganganmu bisa terlepas. Jadi, cukup lingkarkan kedua tanganmu di pinggang ibu.

Bait III

Ya, ibu tahu, anakku. Kau sudah lelah. Perjalanan kita cukup menguras tenaga. Tapi, anakku, ujung tangkai kalbuku.. Ibumu tempat kau menyandarkan segala lelah. Percayalah, punggung ibu kuat sekali untuk  kau bersandar. Jadi, taruh kepalamu di punggung ibu, ya, nak. Itu tempat paling nyaman untuk kau sandarkan kelelahanmu. Bayangkanlah dengan mata terbuka! Segala keindahan yang menanti kita di sana! Sebuah surga sejuk dengan taman dan air mancurnya yang menawan! Meskipun begitu memikat hatimu  itu, tapi jangan kau tertidur ketika membayangkannya. Ibu tak mau kau terlelap! Semua gemerlap dunia bisa membuatmu khilaf! Ibu takut kau jatuh. Maka, dengarkan sekali lagi kata ibumu! Setiap kali kau hendak menggapai bintang impianmu; bukalah mata lebar-lebar dan perhatikan arah langkah kakimu, anakku tersayang.

Bait IV

Ibu akan berusaha supaya cepat sampai. Memilih lajur terbaik. Sebisa ibu menghindar dari sengat cahaya perak mentari agar kau tak kepanasan. Ya, anakku, kau benar! Bila perjalanan kita tersendat-sendat, atau kita belum jua sampai padahal terang berganti mendung bergelayut, lalu saat hari akan hujan , kuyuplah kita berdua setelah basah bermandi peluh. Tapi, kau sedang bersama ibu yang selalu berupaya sekuat mungkin demi memberikan yang terbaik untukmu selama perjalanan kita.

Bait V

Anakku, sebentar lagi kita tiba di sana! Jangan resah! Baiknya kau dengarkan cerita ibu untuk mengusir kegundahanmu. Kisah yang akan kau dengar ini begitu banyak menyimpan  pelajaran dan kelak akan berguna bagi dirimu. Di sebuah negeri hiduplah seorang perawan suci. Karena ia dipilih Tuhan untuk menjadi ibu dari seorang nabi, mengandunglah ia seketika. Padahal ia sama sekali belum mempunyai seorang suami, juga belum pernah bersentuhan dengan lelaki. Kekuasaan Tuhan mentakdirkan dirinya begitu, tetapi ia mesti menerima ujian maha berat: dicemooh dan dihina orang-orang di tempatnya berada. Mengikuti petunjuk Tuhannya, ia pun menghindar dan mencari naungan teraman. Berjalanlah ia menjauh dari kampungnya. Sekian jauh berjalan terseok-seok dengan perut besarnya, tibalah ia di dekat sebatang pohon nan rindang. Melahirkanlah ia di sana. Muncullah ke dunia bayi lelaki yang tak lain adalah seorang nabi dalam perawatan dan perlindungan Tuhannya. Dan, tahukah kau, anakku? Melahirkan itu begitu berat. Menguras tenaga dan mencekik lehernya dengan dahaga. Perawan suci itu ingin sekali membasahi tenggorokannya. Ia merasa haus sekali! Namun, barang setetes air pun tak bisa ia temukan di gurun maha panas ketika itu. Kesana-kemari ia mencari. Usahanya sia-sia belaka. Ia pun kembali ke dekat putranya yang baru saja ia lahirkan. Dipandanginya dengan tatapan kuyu wajah buah hatinya itu. Tiba-tiba keajaiban datang! Putranya yang masih bayi merah itu mampu berbicara: ”Ibu, aku akan menghentakkan kakiku supaya keluar mata air untukmu.” Belum habis rasa takjubnya, mendadak dari bekas hentakkan kaki mungil putranya memancur air teramat bening dan menyegarkan. Minumlah ia sepuasnya! Tuntaslah sudah segala dahaganya! Putranya tersenyum melihat sang bunda bebas dari derita. Perawan suci itu langsung bersujud, ia berterima kasih pada Tuhan Yang Maha Penolong bagi orang yang sabar. Jadi, kau juga harus sabar ya, nak. Tuhan akan menolong kita melalui perjalanan melelahkan ini. Meskipun kau tahu.. Roda sepeda ibu memang kecil. Tapi, dengan pertolongan Tuhan dan kesabaranmu, itu akan membuat kayuhan ibu besar.


Majas Puisi SEPEDA IBU

Penggunaan majas dalam puisi SEPEDA IBU ini secara eksplisit dan implisit mengarah pada gaya tuturan simbolik dan synecdoche pars pro toto. Hal ini disebabkan penulis yang membangun teks puisinya secara induktif. Indri Hapsari menggunakan dua subjek lirik, Ibu dan Anak. Subjek lirik pertama yang secara simbolik menjadi episentrum puisi, yang menggelombangkan setiap keping mosaik peristiwa plesiran dengan berbagai warna dan suasana yang dialami baik oleh ”Ibu” (subjek lirik aktif) dan ”Anak” (subjek lirik semi pasif karena sekalipun tak membalas tuturan subjek lirik utama, dan menunjukkan eksistensinya melalui gerakan memegang, memeluk, bersandar, melukiskan raut wajah kelelahan ataupun ketakutan.). Maka, dalam puisi ini ”Ibu” dengan segala sikap dan prilakunya memiliki perlambangan mengarah pada makna sumber kehangatan, ketulusan dan pencerahan. Sementara itu, ”Anak” yang keberadaannya sebagai pendengar bisu semi pasif merujuk pada simbol kepolosan dunia hijau kanak-kanak yang mesti mendapat bimbingan melalui sentuhan kasih sayang orang-tuanya. Selain dari dua simbol utama ini masih ada lagi yang lainnya, yakni ”sepeda” dan ”roda sepeda ibu”. Sepeda menunjukkan kepada pembaca lambang sarana pengajaran dan bimbingan yang diberikan ibu. Paralellisme makna dari kata ”sepeda” dalam puisi ini mengandung nilai pendidikan khas yang diajarkan oleh orang-tua terdekat dengan anak: ibu. Sedangkan, frasa   ”roda sepeda ibu” yang dituturkan berukuran kecil itu menunjuk pada makna kesederhanaan dan kehangatan yang khas dari bahasa ibu ketika mengajarkan buah hatinya. Hal ini dipertegas dengan baris terakhir pada bait kelima puisi //Tapi kayuhan ibu besar/ yang menunjukkan walaupun dengan bahasanya yang bersahaja mengikuti perkembangan kejiwaan anaknya, ibu adalah sarjana dari universitas kehidupan yang bisa memberikan pencerahan secara langsung pada buah hatinya.

Majas kedua yang bisa ditemukan dalam puisi SEPEDA IBU adalah synecdoche pars pro toto. Gaya bahasa ini secara definitif berarti ”sebagian untuk seluruhnya. Subjek lirik utama ”Ibu” yang hadir dalam teks memberikan pelajaran kehidupan secara langsung (secara tersurat dan tersirat tampak dalam perjalanan bersepeda itu) dalam rangka membentuk kepribadian ”Anak” sebagai subjek lirik kedua. Sedangkan ”Anak” yang dilukiskan sebagai subjek lirik bersifat pendengar bisu, dalam teks puisi merepresentasikan kepolosan jiwa manusia.

Nah, di sinilah pembaca dapat melihat kenyataan fiksional dalam teks memiliki nilai universal kemanusiawian, yakni kehangatan cinta kasih ibunda. Tentu saja hal ini juga selalu ada di kenyataan faktual sehari-hari, dimana seorang ibu dengan segala daya upaya selalu memberikan curahan kasih sayangnya kepada anak-anak. Penggunaan gaya bahasa ”sebagian untuk seluruhnya” ini sekaligus mewakili motivasi penulis puisi untuk mewartakan bahwasanya tiada yang paling indah dan menyentuh selain kehangatan hubungan dan curahan cinta tulus dari seorang ibu.

”Selalu merasa bahagia sekaligus terharu, melihat seorang ibu membonceng anak balitanya. Berdua berusaha menghadapi lalu lintas yang ramai. Betapa mereka sungguh saling memiliki, satu sama lain,” tulis Indri Hapsari, yang akrab dipanggil Mbak Indri, sebagai penjelasan akhir puisinya. (M.I)




Share:

0 komentar:

Posting Komentar