12 Jun 2013

 

Ketika keluh-kesah tumpah di dinding facebook

Dewasa_dalam_Tekanan


”Putus sudah harapanku. Hilang sudah dia dariku. Ternyata cinta ini, hanya untuk pelampiasanmu saja. Sakit terasa memikirkannya,” bunyi sebuah status di dinding facebook yang terkirim melalui telepon seluler.

Beberapa status lainnya berbunyi:

“Betapa malang nasibku. Sepertinya aku lahir  untuk terus-menerus merasa kecewa.”

“Apa karena kehadiranku sudah tak kau butuhkan lagi? Lalu, begitu tega kau tinggalkan diriku? Aku begitu mengharap cintamu, sayang.. Kumohon kembalilah padaku.”

“Ini yang kesekian kalinya aku gagal! Aku memang tak sebanding dengannya. Kalau memang tidak berjodoh dengannya, aku terima, ya, Tuhanku. Tapi, tolong dicek lagi, ya, Tuhan.. Siapa tahu ada kesalahan?”

Terasa sekali nada sendu dan pilu ketika membaca status-status di dinding facebook, dimana para penggunanya sedang dipengaruhi emosi negatif akibat rundung peristiwa menyakitkan yang dialami. Sehingga, sikap memandang rendah dirinya sendiri cenderung bermunculan dengan beragam ekspresi termasuk keluh-kesah di FB Wall. Mengapa pula harus begitu? Apa sebab orang merasa dirinya “tak berguna” dan memandang diri sendiri begitu rendah dengan beragam ungkapan yang sarat muatan emosi negatif?

“Manusia dapat hilang kepercayaan atas kemampuan dirinya jika berungkali terpapar pada kegagalan,” kata pelopor Psikologi Positif, Martin Seligman.

Professor ini memperkenalkan istilah “learned helpless” (ketidakberdayaan yang dipelajari) untuk menunjuk pada pola penilaian diri (self-esteem) yang rendah dari individu yang meyakini bahwa dirinya “seorang yang gagal” dalam hal apapun, merasa salah semua apa yang dilakukan, dan gawatnya mengarah pada sikap berputus-asa.

“Terus-menerus menjumpai kegagalan, lama kelamaan orang itu akan belajar untuk meyakini bahwa apapun yang dilakukannya tidak akan menghasilkan sesuatu,” terangnya lagi.

Mengapa demikian? Orang biasanya belajar dari pengalaman berkesan, entah itu pengalaman bagus atau buruk. Parahnya jika ia mengalami suatu peristiwa menyakitkan berkali-kali, self-esteem yang terbentuk lebih mengarah pada “kepasrahan total” yang menjustifikasi diri sebagai “si tak berdaya yang teramat malang”.

Adapun tujuannya tentu saja sangat beragam. Mungkin berupaya meraih simpati dari para sahabat. Bisa jadi semacam pernyataan konklusif untuk menegaskan dirinya yang selalu menderita. Yang terakhir ini perlu diantisipasi sebab amat bahaya dampaknya.


Penyebab Orang Menilai Rendah Dirinya Sendiri

Penyebab paling klasik dari penilaian yang rendah terhadap diri sendiri adalah kegagalan dalam percintaan. Merasa dikhianati berkali-kali oleh pasangan, diabaikan dan disingkirkan bagai debu di pakaian, atau bahkan dienyahkan serupa nyamuk yang mengigit kulit, dapat menyebabkan seseorang mengalami “kebisingan psikologis” (psychological distortion). Akibatnya, ia merasa dirinya begitu tak berguna, tidak diperlakukan secara layak, mengutuki diri sendiri mengapa pengalaman buruk dalam bercinta tersebut harus dialami. Hal ini menghidangkan sajian “melankolia yang dihayati” bagi dirinya. Selanjutnya, dengan tanpa berpikir-panjang lagi (tidak menganalisa dengan menggunakan jenis pikiran rasionalnya), kesenduan yang merasuk akibat gagal dalam percintaan mengarah pada penilaian yang rendah terhadap dirinya sendiri. Ia membuat sebuah justifikasi: agaknya ia lahir untuk merasakan kekecewaan semata. Cinta bak olahan getah papaver somniferum yang memabukkan setelah dihisapnya, lalu membuatnya hilang kesadaran, terpuruk jatuh, merasa tersuruk-suruk dalam lembah derita tergelap di jagat raya. Sungguh tragis sekaligus berbahaya bagi kesehatan mental individu tersebut.

Keadaan ini mengindikasikan sebuah pembajakan emosi dengan tekanan jiwa, mengingat bahwa otak manusia mempunyai dua sistem ingatan. Satu untuk kejadian-kejadian biasa, dan sisanya untuk kejadian-kejadian yang penuh muatan emosi. Pada berbagai kejadian yang mengandung peristiwa menyakitkan berungkali, seorang individu “dibutakan” kemampuan akal sehatnya. Ia cenderung berpikir dengan dorongan emosi negatif (seperti kecewa, tertekan, cemas, takut berlebihan) saat ia sedang menafsirkan pengalaman traumatis berkesinambungan yang dirasakan. Maka, tak heran jika ia menghakimi diri sendiri dengan penilaian yang rendah: yang hilang harapan hidup, yang bertakdir buruk dengan serbuan bertubi-tubi bogem mentah penderitaan.

Tak hanya itu saja. Jika ia larut dalam suramnya alam kekecewaan (melankolia dihayati), ia mulai mendramatisir segala hal yang menyakitkan jiwanya secara tak proporsional. Semakin ia berpikir mengapa harus ada penderitaan yang mesti dialami, semakin banyak ia menemukan “alasan bagus” untuk menderita. Ini bukan orang lain yang melakukannya, tapi dirinya sendirilah yang merajam jiwanya sampai kehilangan nafsu untuk hidup. Mengapa begitu kejam dengan diri sendiri? Bagaimana mengatasi pengalaman menyakitkan berungkali supaya mampu mengobati diri, bangkit dari keterpurukan pengalaman traumatis, dan bisa menghargai diri sendiri secara layak sesudahnya?


Hargai Diri Sendiri dengan Mengenalnya

Dalam hidup ada banyak peristiwa dengan cita rasanya yang beragam, termasuk peristiwa yang melibatkan diri seseorang harus mengecap kegetiran yang teramat menyakitkan. Bila ia tak bisa mengatasinya, hilang kesadaran diri, rundung perasaan sedih dan pilu niscaya akan mengepung hari-harinya sepanjang hidup. Mulai dari rasa kecewa, merasa tak berguna, putus harapan dan jenis emosi negatif lainnya sampai mengarah pada ketidakpedulian terhadap diri sendiri akan ia alami.

Tetapi, jika ia ”mengenal” dengan baik siapa dirinya, tiap pengalaman menyakitkan yang menerpa tak akan mampu merobohkan kokohnya benteng pertahanan diri. Ia tentu saja selalu bisa menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi ragam permasalahan hidupnya, termasuk kehidupan percintaannya yang gagal berkali-kali itu. Ia mampu bangkit dengan kekuatan diri yang ada, tidak membiarkan dirinya larut dalam kekecewaan. Ia melihat dirinya sendiri begitu berharga untuk disia-siakan hanya karena satu-dua persoalan yang pernah menjerumuskan itu, seperti pasangannya berkhianat dan mengabaikan dirinya. Ketajaman pikiran mampu mengalahkan jebakan jaring emosi negatifnya. Sehingga ia merasa tak perlu mengumumkan secara terbuka bahwa dirinya tengah dirundung kekecewaan, termasuk dengan menulis berbagai status di dinding facebook dalam ekspresi bernada pilu dan merendahkan dirinya sendiri sebagai orang pasrah yang naif. (M.I)

(*) Foto dari dokumen pribadi. Lukisan karya Perupa Sulistyono – Dewasa dalam Tekanan ”2013”, dipotret 5 Juni 2013 pada Pameran Besar Seni Rupa Se-Indonesia di Taman Budaya Jambi.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar