4 Jan 2013

 

Kumpulan Puisiku ( 2012 - 2013 )

1. Aku Adalah Diri

mungkin tubuh adalah penjara
baiknya kuketahui cara merawat kecantikan
selama masa tahanan

setidaknya waktu luang bisa terisi
menjelang pembebasan yang mungkin kutangisi
yakni mati


2. Resep Panjang Umur

Yang baik biasanya cepat pergi.
Yang jahat betah bertahan.

“Pilar sorga masih dicor. Belum kelar!” alasannya.
Api neraka padam. Kekurangan kayu bakar!”

Seringkali aktor mengulur waktu -
Monolog panjang berkhasiat menunda drama kematian.

Biar malaikat maut lagi asyik main lempar koin,
Bagaimanapun juga pilihan sudah ada di tangan.


3. Mari Rayakan Kematian

kematian itu perpisahan yang dirayakan
hujan berbutir berat menderas
tumpah - semoga segala duka tuntas
kiranya dada terasa ringan

setelah itu panitia yang merayakan
berkumpul dan berfilatelis
mengoleksi prangko kesan
melayangkan surat do’a ke langit

lalu makan-makan
bukankah yang hidup harus makan?
mari jangan sungkan.
ini perayaan!

dan hidup berjalan seperti sediakala
sudah sah dilindungi hak cipta:
setiap yang ada lahir untuk tiada
begitu jelas hukumnya. mari rayakan!


4. Kita Semua Adalah Penyewa Rumah


kita semua sedang menyewa,
mungkin sebuah apartemen,
rumah bergaya semi permanen,
atau bahkan berdinding papan sederhana

mestikah diperindah?
dihiasi dengan warna-warni memukau,
digantung lampu kristal bercahaya kemilau,
untuk tempat tinggal sementara - sekedar pelepas lelah

sekian lama menyewa,
kelak tibalah masa kita berpamitan,
mengucapkan selamat tinggal
kepada tuan pemiliknya

si penyewa yang pandai
bisa jadi pergi membawa bekal,
telah bersusah-payah mengumpulkan simpanan,
menang melawan kehendak memperindah rumah sewaan

kini ia bangun rumahnya sendiri,
nyaman terasa, ia bisa tenangkan diri
di rumahnya ini ia penghuni dan pemilik sejati,
pun dihiasi rumahnya ia tak perlu merugi

si penyewa yang pandir
tampaknya berpisah dengan rasa getir:
gontai melangkah kehilangan arah - menggelandang
tak tahu kemana tujuan pulang

ia telah dihasut hasratnya sendiri,
mimpi berumah mewah berharga teramat tinggi,
tiada bersisa, lenyaplah semua yang dimiliki,
pembayar citra semu istimewa menipu diri

beginilah jadinya!
terlunta-lunta,
dirambah resah
ia melata-lata tak berumah

tahu setiap penyewa mesti berpindah,
baiknya jangan terlalu gegabah:
menghamburkan begitu banyak biaya
untuk sesuatu yang bukan milik kita sesungguhnya


5. Puisi, Jadilah Embun Saja!

kepada puisi:

aku lama ingin berjumpa
denganmu yang begitu kurindu
tapi kau tak mau tahu
sungguh aku tak habis pikir

sebentar saja
ya, hanya sesaat untuk berbincang,
ungkapkan rasa, lapangkan sesak dalam dadaku:

mengapa kau kini jadi sebatang pohon tinggi?

leherku mau patah, mendongak lama
dari tadi menunggumu
tapi kau terlalu acuh,
daun-daunmu sibuk sendiri,
menerjemahkan terpaan deru angin
terombang-ambing kusut masai
mati-matian berjuang di udara terbuka

sudahilah..

jadilah embun saja: bening
kemilau pada tiap helai rumputan
aduhai, sejuk segar dirimu kurasa
tiap pagi akan kubasuh wajah beku
memulai hari dengan bekal sejukmu
ah, seandainya kau mau..

salam takzimku
yang bosan dengan kesendirianmu


6. Apostrofe

mungkin hanya puisi saja
bisa jelas terdengar suaranya,
bercerita yang tak terjangkau
atau bahkan yang tak pernah ada

lenyap kaku pada tubuh
telah ditiupkan kembali ruh
tampak gairah menyala-nyala
berkobar dalam benci atau cinta

o, cinta, di sini, ya di dalam puisi
serasa racun manis dicecap
kalap membuta di malam gelap
sembilu rindu meruang ilusi

o, benci di sini, ya di dalam puisi
perih kalbu yang terkoyak
melayari laut luka berombak
di langit kelam berhias cercah ironis ditangisi

mungkin hanya puisi saja
bisa jelas terdengar suaranya:
menumbuh asa atau memantul resah
menjadi wadah ketika tertumpah


7. Lukisan Mimpi

mungkin agar mimpi mampir mendekat,
ia kuubah jadi warna-warni memikat,
garis, titik dan siluet kotaku
yang gelisah - aku tak tahu kenapa

jalanan resah ditinggal jejak kendaraan,
malam serupa perempuan beralis tajam,
menyeringai dan mencemooh
sesiapa yang lamban

orang-orang berpunggung besi
bawa beban duapuluh kali besar badannya
sebuah cerita yang mengalir
dari mimpi yang kulukis


8. Ruang Tualang

kau sudah lupa Tuhan,
sekalipun Dia selalu melihatmu

ada ruang di kota ini
ya, sengaja dibangun untukmu saja

datanglah, tenangkan diri,
rasakan nikmatnya dunia indah tak terperi

astaga! kau kini telah direngkuhnya
bagaimana? sudah sirna resahmu, kan?

memang harganya cukup mahal:
itu resikomu. bayarlah!

lihat! Dia hanya geleng-geleng kepala;
cinta dan kasih-Nya bisa redam gundahmu. itu gratis!

tapi yang kemilau di sini
teramat kuat pikatnya bagimu.

rupanya kau penyuka ironi!


9. Tentang Memberi

memberi itu hati yang meluap,
sungai lembut melimpah rahmat,
juga air bah mengundang bahaya bagi mereka
yang berada di dataran rendah

ketika mau memberi, dimanakah dirimu?
carilah tempat yang tinggi,
ataukah engkau masih bergabung bersama mereka?
jangan lalai dalam permainan sulap prasangka:
dataran rendah tak pernah mampu menahan air bah

berada di tempat tinggi saat memberi
mulianya dirimu yang lupa pamrih
berbahagialah!

berada di tempat rendah saat memberi
malangnya dirimu ditenggelamkan air bah rindu
kidung puja-puji. hayatilah derita kemerosotanmu!

engkau ingin bercahaya kebajikan tinggi
pernahkah engkau curigai hatimu yang meluap itu?
berada di dataran rendah
tenggelam bersama mereka
yang terlena kidung puja-puji.


10. Berjuanglah, Bukan Memasrahkan Diri!


“Bersyukurlah..” kudengar nasehat ini.
“Tunjukkan kesopananmu. Demikianlah kebajikan!”

Sepiring nasi basi, lembek berair,
sepotong daging bangkai penuh belatung,
segelas nanah kuning keruh:
ya, memang elegan terhidang.

Akankah engkau mensyukuri?
Sementara lapar menggerus dinding perut,
dahaga membakar kerongkongan.

Nalar mengajarkan cara bertarung;
ia menghargai para pejuang.
Kiranya santapan raja terasa paling lezat,
anggurnya paling manis melekat.
Niscaya dirimu merasa terhormat.

Itu kebajikan sekaligus keunggulan;
yang pasti bukan kepasrahan.


11. Pilihlah Rotimu yang Baru

Engkau mau hidup. Makanlah!
Ada banyak larva lalat di roti kehidupanmu yang lama.
Lemparkan atau masih mau engkau makan?

Romantisme biasanya mengundang penyakit. Buktikanlah!


12. Tetaplah Ingat untuk Apa Gigi Disikat?

sayang, marilah kita bicara tentang rasa syukur
yang tak perlu lagi ada debat
menuai dendam sampai liang kubur

ayo, kita mulai sepakat
gigi-gigi kau dan aku tak lagi disikat
biarkanlah tampil dengan estetikanya yang kuning berkarat
agar kita tak lagi tersesat jauh
lalai mengingat betapa nikmat
mengunyah setelah kita bermandi peluh
pula tak terkira-kira lezat
ketika kita ikuti jalan-Nya yang bersuluh
melata di muka bumi, mencari rezeqi
supaya bisa digilas-gilas mulut kau dan aku yang bergigi

jangan lagi membeli odol
itu perbuatan mubazir, konyol!
singkirkan saja semua sikat gigi
biar tulang-tulang dalam mulut kita jadi saksi:

kau dan aku ada
karena Dia Saja Selalu Memberi
Masih Maha Pengasih
bagi kita yang kerap lupa diri.

bagaimana bisa kau dan aku khilaf?
berbuat kufur tanpa sebab
menyingkirkan sisa-sisa rezeqi:
untuk apa menyikat gigi putih mengkilap?


13. Sajak Rindu dan Hantu

Karena rindu terus membelenggu,
entah kenapa aku bersedia menantimu
di antara randu dan beringin tua.
Bodoh! Mau saja di sini.

Satu jam berlalu belum cukup.
Masuk jam kedua tetap kutunggu tapi aku ragu.
Sesekali resah kepak kelalawar menyapa. Sudah itu sepi saja meraja.
Akankah kau datang menemuiku?

Angin dingin cukup menguliti.
Ia bawa terbang akalku.
Takut menyergap, cemas melintas berkelebat.
Benarkah itu dirimu ataukah penunggu pepohonan tua ini?

Agaknya aku harus pergi.
Logika mengiringiku berpendapat:
“Segala sesuatu mesti diragukan,
tapi rindu dan hantu sudah berlebih-lebihan.”

Yang luput dijemput akal dan indera,
Nyata ada dengan rasa,
dan pasti. Sulit dibantah.
De Omnibus Dubitandum?


14. Patriarki

Kalau kau kurayu
mau dibawa plesiran dalam kapal pesiar nyaman,
saat laut kemilau dengan langit tampil menawan,
jangan percaya. Kau tahu aku pembohong purba!

Tapi jika kau mendengar retorika:
aku tulus mencintaimu,
sebenarnya itu agar bisa mengajakmu
hidup di bedeng papan sewaan.
Hayati nasib malangmu.
Bersyukurlah! Kau rela melakoninya.

Jangan terbuai tatkala kukatakan mau membangun taman,
tepat di beranda rumah mungil kita. Bukalah matamu!
Ada kandang kecil buatmu jualan sayuran. Mengeramlah di dalamnya!
Jangan lupa berdo’a aku bangun dari lelap tamasya surgawi.

Adakah hal penting yang kita abaikan?
Tidak. Mari akui yang pasti telah lama sekali:
kita telah membiakkan tradisi.
Dan yakinlah, aku tidak membodohimu.


15. Politik Godaan


sebelumnya pohon belimbing
di samping rumahku kalem,
ia lebih suka hening,
congornya lebih milih mingkem

mana berani ia protes
misalnya saat angin ngamuk,
daunan kuning, reranting lapuk
merontok pasrah, luruh tersuruk

entahlah sejak selembar poster
nempel, masang badan di batang
tiba-tiba ia membangkang,
mendadak berubah, perangainya keblinger!

katanya ia berani nentang
angin kencang yang datang
sangkanya ia punya daya
disihir slogan poster bergaya:

“Ayo, pilih Tuan Hantu -
abang kita yang baru,
di segala cuaca siap membantu.”

kiranya rayuan kian hari
kian menjadi-jadi:
mengelabui, menutup akal budi
agar lupa diri sendiri


16. Absurditas Posmo

mungkin dosa adalah ide,
izinkan aku berterima kasih padamu
suatu sikap yang elegan,
ganjaran setimpal atas kesediaanmu
agar istrimu mau kutiduri.

lihatlah! bukankah kita telah sepakat?
hal yang menyesakkan dada seperti dosa,
sebenarnya bisa melegakan ketika diabaikan.
agaknya tuntutan tubuh lebih berkuasa
dan mari biarkan hati mendesah

yang bisa terjangkau indera,
yang bisa nyata terlihat,
yang bisa dirasakan nikmat,
yang bisa bebaskan tubuh dari penjara,
agaknya lebih meraja - kuasa yang sementara butuh pembiasaan!


ah, rupanya kau dan aku mesti jujur
benarkah kita dirantai tubuh sendiri?
susah payah kita bebaskan diri,
berbagi tugas dan menjalin kerja sama:
kau bangun pilar-pilar penopang sorga dunia,
aku bawakan air mancur penghias kolam tamannya
Share:

0 komentar:

Posting Komentar